Part 42

325 41 23
                                    

"Udah dong Winna nangisnya... Orang lain yang ngelihat bakal ngira kita berantem kali..." Ucap Calvin berusaha menenangkan Winna yang masih menangis haru di sebelah ranjangnya.

Ketika pihak rumah sakit memberitakan donor jantung yang cocok untuk Calvin telah ditemukan, Winna merasa beruntung bisa mendengar kabar membahagiakan tersebut secara langsung karena bertepatan dengan jam berkunjung dirinya. Kedua orang tua Calvin tentu menyambut baik berita suka cita tersebut. Keduanya langsung bergegas mengurus berkas dan administrasi lainnya. Lagi-lagi meninggalkan Winna berdua dengan Calvin di ruang yang terasa besar itu.

Winna mengangkat wajahnya dan menunjukkan matanya yang berkaca-kaca. "Ini air mata bahagia, Vin. Gak sia-sia gue doain kesembuhan lo tiap hari... Ternyata Tuhan dengerin doa orang macam gue juga, ya?"

"Dari dulu gue juga doain hal yang sama. Tapi baru terkabul setelah lo yang minta ke Tuhan. Pilih kasih nih Tuhan lebih dengerin lo!"

"Gue banyak minta gak ya kalau gue doa lagi ke Tuhan supaya operasi lo lancar dan kita bisa bareng selamanya?"

"Kalau Winna yang minta mah pasti diturutin gak, sih?"

"Calvin punya permintaan apa lagi? Kan Tuhan lebih dengerin doa Winna, jadi Calvin kalau mau apa-apa tinggal bilang ke Winna. Nanti Winna yang berdoa ke Tuhan."

Calvin terbahak mendengar pernyataan lugu Winna. "Gak muluk-muluk, kok. Gue cuman mau Winna bahagia selalu. Tapi namanya hidup ya, pasti naik turun. Mungkin nanti Winna bakal menghadapi masalah yang lebih sulit dari kemarin. Tapi gue percaya Winna orang yang kuat. Semua masalah pasti bisa dilewatin. Kalaupun Winna merasa sedih atau capek, gapapa banget buat istirahat sejenak. Asal gak sedih berlarut-larut dan Winna janji untuk bangkit lagi."

"Serem ya kalau ngomongin masa depan? Kita gak tau ke depannya bakal gimana... Tapi selama ada Calvin, Winna yakin gak ada yang gak bisa Winna lewatin." Winna tersenyum sendu. "Emang Calvin gak punya permintaan lain? Yang fokusnya ke Calvin, bukan ke Winna. Kan ini buat merayakan kesembuhan Calvin!"

"Ada sih sebenernya. Tapi masih jauh."

"Emangnya apa? Gapapa, ngomong aja."

"Gak jadi, deh. Malu ngomongnya."

"Ngapain malu??? Kayak sama siapa aja!"

"Haha. Takut Winna ilfeel duluan."

"Gue udah lihat segala kebobrokan lo, Calvin. Dan gue masih stay. Apalagi yang mau lo umpetin dari gue?"

"Hmm, iya juga, ya. Bentar gue nyusun kata-kata dulu," Calvin berdeham ragu. "Nanti setelah kita lulus... kita nikah, yuk? Emang sih gue belum punya apa-apa... Tapi gue janji gue bakal buat lo bahagia, Win. Selama kita punya satu sama lain, gak ada yang mustahil buat kita lalui, kan?"

Apakah Calvin baru saja melamarnya? Saking terkejutnya, Winna tidak dapat berpikir lurus. "Iya, mau." Jawabnya yakin.

"Seriusan??? Langsung diterima gitu aja gak mau dipikir-pikir dulu?"

Winna menggeleng, "Kalau kelamaan mikir terus gue malah berubah pikiran gimana?"

"Eh, iya. Jangan deh kalau gitu..." Calvin kembali terdiam. "Win, gue punya pertanyaan. Tapi kalau gak mau dijawab juga gapapa."

"Kok mikirnya gitu, sih? Tanya aja lagi! Selama gue punya jawabannya, pasti bakal gue jawab."

"Apa yang lo suka dari gue? Gue punya segudang alasan kenapa gue bisa suka sama lo, tapi kalau gue? Padahal sesuai yang lo bilang, lo udah lihat semua bobrok-bobroknya gue. Kenapa masih mau sama gue? Kenapa masih rela nungguin gue sembuh...?"

"Emangnya gue harus punya alasan buat suka sama lo? Kata orang, kalau lo bisa suka sama seseorang karena alasan tertentu, berarti perasaannya cuman sebatas rasa suka. Tapi kalau lo gak bisa sebutin alasannya, artinya lo udah sayang sama orang itu."

eighteen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang