Puncak hari kedua outbound diisi dengan kegiatan hiking. Panitia telah menyebarkan peta rute yang harus dilalui peserta, dimana setiap kelompok perlu mengunjungi pos yang dijaga oleh panitia untuk bermain game dan memenangkan poin. Rute yang ditetapkan sudah diuji coba sendiri oleh para mentor dan tidak ada kendala. Gunung yang didaki juga tidak memiliki ketinggian melebihi 800 m, selain itu, aksesnya juga dekat dengan pemukiman penduduk.
Keselamatan para maba menjadi prioritas panitia.
Namun saat mentari terbenam semakin dalam, disaat satu per satu kelompok sudah kembali ke perkemahan. Terdapat satu kelompok yang tak kunjung kembali.
"Loh, aku kira kelompoknya Adriel udah balik duluan..." Mata Giselle terbelalak kaget.
Koordinator mentor melirik jam tangannya khawatir, "Bukannya awalnya kelompok Adriel gabung ke kelompok kamu karena mentee-nya Adriel yang ikut hiking cuman dua orang?"
Semua itu berawal dari menghilangnya Calvin dari tenda medis. Calvin yang punya riwayat penyakit jantung dibebaskan panitia untuk tidak mengikuti hiking. Tapi ketika Calla mampir ke tenda medis untuk menjenguk adiknya, dia tidak menemukannya.
Menjadi kelompok terakhir yang kembali ke base perkemahan, itupun dengan anggota yang tidak lengkap, Giselle langsung disambut dan dikerumuni oleh koordinator mentor dan perwakilan kemahasiswaan. Wajah Giselle memucat ketika seluruh mata tertuju padanya, tatapan mereka seolah sedang menuntut kesaksian. "Iya... Saya gak tau gimana caranya, tapi di tengah hiking, mentee-nya dia yang satu lagi nyusul dan karena ada perseteruan kecil antara kelompok kita, mentee kita mutusin buat misah dan jalan masing-masing."
Tanpa sadar, Calla yang berdiri di belakang hanya menahan napas sepanjang Giselle menjelaskan kronologinya. Telinganya berdengung tiba-tiba. Satu-satunya suara yang didengarnya adalah kesunyian yang mencekam dan detak jantungnya sendiri. Permukaan bibirnya terasa bergetar, tidak mampu mengucapkan kata-kata. Pikirannya serabutan. Sungguh skenario yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Calvin, Adriel, dan dua maba lainnya hilang di gunung...
"Panitia yang jaga pos sudah pada balik?" Tanya staf kemahasiswaan.
"Sudah, Bu. Dari panitia sudah lengkap semua."
"Giselle, kamu ingat terakhir kali kelompok kalian pisah itu kalian sedang di pos apa?"
"Pos Foxtrot, Bu. Terakhir kelompok Adriel bilang mereka mau balik, sedangkan kelompok saya mau lanjut ke pos berikutnya..." Jawab Giselle ragu.
"Mentee-nya Adriel yang punya PJB itu gimana caranya bisa kabur dari tenda medis, deh? Terus kok bisa dia nyusulin kalian padahal kalian juga gak lagi diem di tempat?"
"Katanya dia ngekor kelompok lain Kak sampai kita papasan di atas..." lanjut Giselle, penglihatannya mulai berair. "Kak, ini kelompoknya Adriel gak mungkin kesasar, kan...?"
Tidak bisa memberikan jawaban, koordinator mentor melemparkan tatapan kalang kabut ke staf kemahasiswaan. "Gimana, Bu? Apakah mau langsung panggil Tim SAR atau kita koordinasikan dulu dengan komandan yang bertugas?"
"Kita langsung panggil Tim SAR saja. Kumpulin orang-orang bersangkutan dari relawan medis, mentor-mentor yang papasan dengan kelompok Adriel, dan seluruh panitia yang jaga pos. Setelah mengumpulkan info yang cukup, baru kita lakukan pencarian. Tapi karena ini sudah malam, libatkan perwakilan saja, termasuk tentara pelatih karena mereka juga pasti lebih familiar dengan area sekitar."
"Bu, apa saya boleh ikut?" Calla mengangkat tangannya ragu, suaranya terdengar serak di akhir. "Saya kakaknya Calvin Alexander, maba yang nyelonong ikut hiking. Mentornya, Adriel Ryan juga teman seangkatan saya, Bu..."
KAMU SEDANG MEMBACA
eighteen [END]
FanfictionCalista Alexandra si wakil ketua komdis galak, terpaksa harus berhubungan dengan Adriel Ryan yang adalah pembimbing kelompok ospek adiknya yang baru masuk kuliah. "Mentee lo ada yang namanya Calvin Alexander, kan? Dia adek gue dan dia pengidap penya...