Part 4

433 70 10
                                    

Calla menduduki ujung meja pos medis sambil meneguk barbar minuman Cap Kaki Tiganya. Hari masih pagi. Jangankan maba yang berkeliaran (kalau nggak, dia harus jaim), panitia saja masih banyak yang belum ngumpul untuk briefing pagi.

Ria datang membawa kotak obat. Suara lantangnya hampir bikin Calla keselek. "Gak ada Strepsils – lo kira di sini warung? Lah, itu lo udah minum Cap Kaki Tiga. Kenapa masih nyuruh gue cari Strepsils?"

Brianna atau Ria ini adalah anak Divisi Medis di kepanitiaan ospek, sekaligus sahabat Calla dari SMA yang kebawa hingga kuliah. Mereka janjian untuk daftar panitia ospek bareng dan untungnya keterima bareng juga. Beda dengan Calla, Ria nggak mau terlalu involved dengan maba seperti peran mentor dan komdis. Dia gak mau diberi tanggung jawab berat, tapi tetap bisa mejeng, Makanya dia pilih Divisi Medis. Tapi kenyataannya, jadi tim medis gak semenyenangkan yang dia kira karena banyak maba yang pura-pura sakit demi bolos sesi.

"Ini gue udah habisin tapi suara gue masih kayak gini!" Seru Calla dengan suara serak-serak basah. Selain pecah suara, tenggorokannya juga terasa sakit ketika ngomong.

"Anjir. Seksi banget suara lo! Udah bisa godain om-om, tuh. Tipsnya dong, Kakak."

"Makan McD tengah malem." Calla gak punya pilihan lain. Kemarin, selesai evaluasi, dia lanjut rapat dengan panitia acara dan kemahasiswaan, dan baru beres larut malam.

"Emang di McD kalau malem-malem banyak om-om?"

"Om-om mulu pikirannya... Bosen kuliah kah???"

Tawa Ria meledak. "Lagian, siapa suruh makan McD malem-malem?!"

"Ya, gimana? Emang ada tempat makan lain yang masih buka tengah malem?"

"Ada obat maag."

"Gue lagi gak bisa nanggepin nih, Ri. Tenggorokan gue sakit tiap kali gue ngomong..."

"Hehe. Gini aja, Cal. Nanti sebelum evaluasi maba, lo tulis dulu naskah lo. Nanti gue yang bacain, lo tinggal lip sync. Gimana? Keren kan ide gue."

"Nyenyenye. Gak mau diisi suara, maunya diisi hatinya..."

"Kan udah ada."

Calla memutar bola matanya, "Diem. Gak usah ngejek."

Melihat Calla yang sudah keburu bete, Ria mengalihkan topik secepat kilat. "Si Calvin gimana? Masuk kelompok Adriel ya dia?"

"Iya. Adriel ada cerita ke lo, ya?" Tebak Calla.

"Enggak, sih. Kemarin sempet liat mereka lagi kerkom di study room kosan gue." Setiap kali mereka membicarakan Adriel, entah kenapa mood-nya pasti langsung berubah serius. Dan kata 'serius' sangat gak menggambarkan persahabatan mereka. "Lo ada ngomong ke Adriel tentang kondisi Calvin?"

"Ada."

"Akhirnya..." Calla sontak mengangkat alisnya dengan skeptis. "Perang dingin sudah berakhir, guys." Lanjut Ria.

"Mana ada perang dingin... Lo tuh gak jelas sama si Adriel pakai acara break-break segala! Berak aja sekalian." Ujar Calla ngegas.

"Yee, sialan. Daripada lo gak ditembak-tembak, gak punya status."

"Are you guys ok?" Ayu, ketua komdis yang memang berniat untuk menghampiri Calla, gak sengaja mendengar percakapan kedua sahabat itu. "Gue maju-mundur mau manggil Calla... Tapi gue takut kalian cakar-cakaran..."

"Gapapa kok, Kak Ayu. Emang si Calla harus disindir terang-terangan kalau enggak otaknya gak nyambung." Jelas Ria. Persahabatan mereka memang sering salah diartikan. Padahal Ria ini adalah pelipur lara Calla. Senusuk-nusuknya perkataan Ria, Calla akan menganggap itu candaan, dan begitu pula sebaliknya. Tidak ada orang yang sefrekuensi dengan Calla seperti Ria.

eighteen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang