Tak terbayang bagi Adriel kalau akan tiba saatnya dia merindukan rumahnya yang di Jakarta. Sebenarnya, kemungkinan untuk bertemu anggota keluarganya juga kecil karena baik papanya, mama tirinya, serta Nadine punya karir masing-masing yang menyita waktu mereka – plus, kediamannya juga sangat luas. Bahkan lebih banyak pekerja yang singgah di kediamannya itu dibanding anggota keluarga intinya.
Namanya manusia, kalau ada masalah bukannya diselesaikan malah menghindar (tidak bisa digeneralisasi juga, sih), kebetulan Adriel termasuk ke golongan itu. Ya, dia tidak berniat menghindar selamanya juga, sih. Sampai pikirannya lebih jernih, dia berjanji akan menghadapi masalahnya itu dengan berani.
Memang ada masalah apa sih yang membuatnya duduk sendirian tengah malam di pinggir kolam renang sambil mengisap rokok? Memangnya dia gak takut kalau di balik pepohonan muncul penampakan makhluk halus?
"Ngapain lo malem-malem nyebat sendirian di beranda?" Sapaan Nadine membuat Adriel terlompat di kursi kayu yang didudukinya.
Adriel mengelus-elus dadanya untuk mengembalikan ritme jantungnya ke normal. "Kok ada lo?"
"I literally live here. Harusnya gue gak sih yang nanya gitu ke lo? Emang besok gak ada kelas?"
"Ada, tapi sore gitu. Tumben lo di rumah? Biasa business trip entah ke belahan dunia mana."
"Got everything under control for now, so I can finally breathe a little." Nadine menyadari sebatang rokok menyala pada tangan adik tirinya itu terang-terangan. "You started smoking again? Thought you quitted."
"Just for this time. Sakit banget pala gue."
"Kalau sakit kepala ya minum obat, bukan nyebat."
"Bukan sakit itu... Beda..."
Nadine berjalan menghampiri kursi kayu yang masih kosong dan duduk di sana. "Oh? Nicotine withdrawal? Sejak kapan ya lo berhenti ngerokok? Bukannya udah lumayan lama?"
"No, it's not from a withdrawal. Lagi banyak pikiran aja."
"Jarang dipake ya otaknya, makanya sekali dipake langsung sakit."
"Sembarangan," Adriel mengisap rokoknya tenang. "Kenapa lo malah duduk sini? Don't you hate the smell of cigarettes?"
"I do, but my colleagues trained me well. I can bear it for a little longer now."
"Congrats."
"Gak gitu!" Sangkal Nadine. "I don't know, but to me, you look like you could use a friend right now."
"Lo aja suka cepu ke Mom and Dad. How can I trust you? Mana sekarang lo kenal sama Calla–"
"Hah? Apa hubungannya kalau gue keceplosan ke Calla? Emang lagi ngomongin dia?"
"Ya, enggak, sih." Jawab Adriel mengelak. "Tapi dia temen deketnya Ria."
"Really?"
"Iya. Masa gak tau? Kirain kalian deket banget sampai lo rela nuker dia buat jadi adik lo."
"Haha. Well, at first, gue kenal Calla sebagai anonymous di Telegram biar kita bisa ngobrol lebih leluasa karena sama-sama strangers. Sometimes, masih kebawa sampai sekarang. But that's still shocking to know – what a small world we live in." Nadine memajukan badannya antusias. "And then? Is it about Ria?"
Adriel hanya mengangkat kedua bahunya, "Begitulah."
Nadine tiba-tiba beranjak dari duduknya. "You know what? I'll be back in a minute. Don't go anywhere! I'll bring out cool stuff to set the mood right."
KAMU SEDANG MEMBACA
eighteen [END]
FanficCalista Alexandra si wakil ketua komdis galak, terpaksa harus berhubungan dengan Adriel Ryan yang adalah pembimbing kelompok ospek adiknya yang baru masuk kuliah. "Mentee lo ada yang namanya Calvin Alexander, kan? Dia adek gue dan dia pengidap penya...