Part 17

284 43 47
                                    

Tw // suicidal thoughts,  self-harm, depression

Liburan semester tinggal hitungan jari, Juan yang sudah menyelesaikan semester pendeknya pun baru punya waktu untuk pergi berdua dengan Winna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Liburan semester tinggal hitungan jari, Juan yang sudah menyelesaikan semester pendeknya pun baru punya waktu untuk pergi berdua dengan Winna. Jadwal kencan mereka hari ini diisi dengan menonton film di bioskop.

Tapi pesan singkat yang diterima Winna tadi malam masih menghantui pikirannya. Tanpa diundang, awan kelabu itu lagi-lagi menghiasi suasana hati dan pikirannya. Dia sudah hampir membatalkan rencana kencannya dengan Juan hari ini kalau saja cowok itu tidak bertamu ke rumahnya karena jujur, pacarnya itu kalau sudah marah sangat menakutkan. Jadi dengan berat hati, Winna menyeret dirinya keluar rumah, berharap perasaannya akan membaik setelah pergi keluar.

"Gila ya, si Brad Pitt udah tua, tapi masih lincah aja. Seru sih film-nya menghibur, tapi pas mereka udah masuk keretanya langsung mulai bosen." Begitu keduanya berjalan keluar dari ruang teater, Juan memberikan ulasannya terhadap film berjudul 'Bullet Train' yang baru  mereka tonton. "Menurut kamu, film-nya gimana? Lucu, nggak?"

Sepanjang film diputar, pikiran Winna masih mengawang, bahkan hingga sekarang. "Hah? Oh. Iya, lucu, kok."

"Kamu lagi kenapa sih hari ini? Bisa nggak sih kalau kamu lagi bad mood, nggak usah ditunjukin ke satu dunia gitu? Merusak mood orang lain tau, nggak? Padahal aku ngajak kamu ke sini mau menghibur kamu loh, biar kamu nggak suntuk di rumah terus."

"Maafin aku, Kak... Semalem, aku dapet iMess neror lagi... kayaknya dari istrinya Om Johan... Terus kepikiran sampai sekarang, makanya aku nggak fokus nontonnya..."

"Neror apa lagi dia? Mana coba sini lihat." Juan merebut paksa ponsel Winna dan membaca sekilas pesan yang dikirimkan oleh istri sah papanya. "Kan aku udah suruh kamu block dia dari dulu. Kenapa kamu unblock?"

"Aku nggak unblock, itu nomor baru..."

"Ya, tinggal di-block lagi. Susah amat? Lagian, kamu ngapain buka-buka iMess dari orang nggak dikenal? Cari penyakit aja."

Winna mengepalkan tangannya, menahan luapan emosi. "Kan kamu tau aku paling nggak betah kalau ada notifikasi belum aku buka. Mana aku tau istrinya Om Johan bakal hubungin aku pakai nomor baru...?"

"Iya, gara-gara kebiasaan jelek kamu itu, kamu jadi nyakitin diri sendiri! Emang sebelumnya kamu ngapain sih sampai si tante-tante gila itu coba hubungin kamu lagi? Ngapain juga dia ngancem kamu sampai segitunya kalau kamu nggak berulah duluan?"

"Aku nggak ngapa-ngapain, Kak... Aku udah nurutin kata-kata kamu – cut ties sama Om Johan, minding my own business. Terus tiba-tiba, istrinya bisa message aku duluan gitu. Kenapa sih kamu susah banget buat percaya sama aku? Emang di mata kamu aku sebodoh itu sampai apa-apa harus dipantau?"

"Loh, kenapa jadi nyalahin gue? Gue kan ngelakuin itu buat ngelindungin lo! Lo tuh, ya. Udah tau anaknya terlalu sensitif – apa-apa dimasukin ke hati. Udah tau istrinya Om Johan lebih terobsesi sama lo dan nyokap lo daripada keluarga dia sendiri – masih aja dikasih cela."

eighteen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang