Part 27

291 42 29
                                    

Sinar matahari terasa begitu menyengat di siang bolong. AC kosan menjadi godaan terbesar bagi mahasiswa yang jadwalnya sedang tidak padat, termasuk Calla dan Gigi. Selesai kelas, kedua sahabat baik itu memutuskan untuk nugas bareng di Starbucks. Mumpung ada voucher Buy 1 Get 1 minuman yang hanya bisa dinikmati sampai hari itu.

"Capek gak sih kuliah? Pernah gak sih lo kepengen nikah muda aja biar terbebas dari tugas-tugas yang gak ada habisnya ini?" Ucap Gigi tiba-tiba.

Calla hanya menatap layar laptopnya datar seolah pernyataan yang dilontarkan Gigi sudah tidak mengejutkan baginya. "Capek juga gak sih jadi ibu rumah tangga? Ngurusin suami, ngurusin anak. Belum kalau dapet mertua yang bawel."

"Nikah muda yang gue maksud adalah jadi trophy wife pengusaha sukses. Bayangin! Lo bangun pagi cuman buat ikut kelas pilates, terus ke coffee shop gak perlu voucher Buy 1 Get 1 – bisa upgrade ke almond milk tanpa mikirin sisa duit di rekening. Terus brunch makan croissant. Lanjut groceries shopping di supermarket fancy. Malemnya tinggal siapin dinner buat suami. Kalau masih ada energi, lanjut Senoparty."

"Jadi, udah ganti cita-cita nih sekarang? Udah gak mau jadi girl boss lagi?" Tanya Calla menyeringai.

"Tergantung situasi mengharuskan gimana. Gak boleh bertekuk lutut sepenuhnya sama patriarki – gue harus tetep banggain Ibu Kartini!" Celetuk Gigi. "Tapi ya, Cal. Dipikir-pikir masa depan lo bakal terjamin sih kalau lo nikah sama Jevan. Dia kan pinter, ya. Terus hard working juga, pasti karirnya cerah. Tapi Adriel old money... Denger-denger bokapnya langganan masuk daftar 50 orang terkayanya Forbes. Adriel kan cuman punya satu kakak tiri cewek, jadi pasti nanti perusahaan bokapnya diwarisin ke dia."

Mendengar kedua nama cowok itu disebut, jemari Calla sontak berhenti mengetik. "Kenapa tiba-tiba jadi mereka, jir? Apa urusannya???"

"Gue lagi membuka pikiran lo biar lebih realistis. Karena cinta aja gak cukup buat menjamin kelangsungan hidup. Lo mau tau siapa yang lebih menjanjikan masa depan? Bapaknya Adriel, sih."

Tawa Calla pecah, "Sakit jiwa."

"Males banget gak sih nugas??? Please tell me I'm not the only one?!" Keluh Gigi untuk kesekian kalinya. "Cerita dong, Cal. Gantian! Masa gue mulu."

"Gak ada cerita gue. Hidup gue gitu-gitu aja," Calla terdiam sejenak, memutar otaknya. "Oh! Gue mau udahan sama Jevan."

"Dari bulan lalu juga ngomongnya gitu, tapi lo berubah pikiran mulu!" Gigi menghempaskan kepalanya ke belakang, kedua kaki jenjangnya diluruskan ke depan hingga memakan ruang pengunjung lain. "Tekad lo harus bulat kayak tahu yang digoreng mendadak."

"Iya, kali ini gue serius, kok!"

"Apa yang buat lo seyakin ini?"

"Mau fokus kuliah." Jawab Calla asal.

"Pret. Gak relate."

"Haha. Karena gue sadar akhir-akhir ini gue lebih banyak sedihnya daripada senengnya. Lagian, masih banyak hal lebih penting yang perlu perhatian gue. I mean, I'm still young. Cinta-cintaan masih bisa ditunda."

Senyuman bangga terulas pada wajah Gigi. Mengenal Calla sudah hampir dua tahun, satu hal yang Gigi pelajari tentang Calla – dia bukanlah tipe yang mudah mengemukakan perasaannya. Untuk itu, Gigi bangga mereka sudah mencapai tahap sedekat ini. Antara itu atau Calla juga sudah mulai bisa percaya kepada orang lain. 

"Emang harus gitu. Pacaran mah yang diambil happy-happy-nya aja. Ya, walaupun lo gak pacaran sama Jevan juga, sih."

"Sialan," hujat Calla spontan.

eighteen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang