Akhir-akhir ini, sulit untuk mencocokkan jadwal dengan Nadine karena dia sedang sibuk mempersiapkan hari besarnya. Baru di akhir pekan, Nadine mengundang Calla untuk datang ke apartemen studionya (yang katanya hanya dia tempati kalau sedang peak season) untuk mengambil oleh-olehnya dari Tokyo. Selaku tamu, Calla tentu nggak enak kalau hanya datang untuk mengambil barang dan langsung pulang. Tapi di saat yang bersamaan, dia juga tidak enak kalau harus mengganggu Nadine di tengah kesibukannya.
"Tempat kamu bersih ya, Kak. Aku kira karena lagi chaos bakal berantakan," puji Calla tulus sembari mengintip pemandangan gedung pencakar langit sekitar dari jendela di lantai 24.
"Haha. Iya dong! Kan mau ada tamu, jadi aku sempet-sempetin bersih-bersih dulu." Nadine mengambil segelas matcha latte yang dibawakan Calla. "Btw, thank you udah repot-repot bawain matcha latte yang aku pengen coba dari kemarin! Segini berapa, Cal? Biar aku ganti."
"Gak usah lah, Kak. Kamu kan juga udah sering traktir aku, biar kita gantian. Hehe."
"That's very sweet of you. Maaf ya hari ini aku gak bisa nemenin kamu pergi. Aku lagi ngecekin list undangan dan setelah ini harus pergi test food."
"It's fine, Kak. Kamu butuh bantuan, gak?" Calla menghampiri tumpukan undangan di meja kerja Nadine.
"Beneran nih mau bantu?" Dengan persetujuan Calla, keduanya membagi tugas dengan Calla menandai softcopy daftar undangan lengkap dari laptop, sementara Nadine memeriksa secara manual label undangan yang tercetak.
Calla tentu tidak keberatan untuk membantu Nadine. Hanya saja, kebiasaan nugas bareng Gigi membuat fokusnya mudah terdistraksi kalau tidak diselingi dengan percakapan. "Udah semakin deket hari H, ya. Perasaan Kak Nadine gimana?"
"Sempet grogi. Tapi sekarang mungkin lebih ke gak siap aja." Jawaban Nadine mengejutkan.
"Gak siap gimana?"
"Losing my identity. Lately, orang-orang lebih sering address aku sebagai 'Calon Pengatin'. Kalau udah nikah, pasti mereka bakal manggil aku 'Mrs. Winata'. I feel like I will no longer become Nadine Askara," kata Nadine lirih. "Sorry for ruining the mood. I can't help it. Tapi aku denger-denger, katanya normal buat merasa kayak gitu menjelang hari pernikahan. Maybe I'm just being dramatic."
"Enggak lah, Kak. Menurutku wajar aja. Ya, walau aku juga belum ngalamin sendiri. But to me, Kak Nad bakal tetep jadi figur kakak perempuan that I never had. Selama Kak Nad lagi gak sibuk, aku masih bisa cerita-cerita leluasa dan nyusahin Kak Nad, kan?"
Senyuman lebar yang tersungging dari bibir Calla menular hingga ke Nadine, "Please do! I'll always make time for you."
"Aku kan juga anak sulung cewek di keluargaku, jadi aku tau rasanya punya kewajiban buat memenuhi ekspektasi orang-orang. That's why I really look up to you karena Kak Nad kelihatannya punya semua jawaban dari setiap masalah. Gak jarang aku bertanya-tanya, Kak Nad kalau lagi ada masalah larinya ke siapa, ya? Tapi pas Kak Nad menunjukkan sisi humane barusan, I feel like I can finally understand you."
Nadine terkekeh, "We do share a lot of similarities, don't we? Makanya pas awal kenal kamu, aku merasa lagi ngelihat diri aku yang dulu. Tapi sesuai kata kamu, Cal. Aku masih manusia, jadi tentu aku gak punya semua jawaban – bahkan untuk masalah aku sendiri. But one thing I learned the hard way from is when to ask for help. Karena seiring kamu beranjak dewasa, masing-masing dari kita bakal punya kesibukan dan masalah masing-masing. Orang lain gak akan tau masalah apa yang lagi kita hadapin kecuali kita yang reach out ke mereka duluan. Mungkin banyak orang dewasa yang memilih untuk mendam, tapi kan yang tau batasan kita ya diri kita sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
eighteen [END]
FanfictionCalista Alexandra si wakil ketua komdis galak, terpaksa harus berhubungan dengan Adriel Ryan yang adalah pembimbing kelompok ospek adiknya yang baru masuk kuliah. "Mentee lo ada yang namanya Calvin Alexander, kan? Dia adek gue dan dia pengidap penya...