Stella memejamkan matanya, menghirup pelan udara dingin malam hari, sembari memandangi langit hitam yang ditemani oleh lingkaran bulan purnama.
Bisa diakui, Stella ini termasuk orang yang keras kepala. Bukannya pergi beristirahat, dia malah mencabut selang infus beserta transfusi darahnya, keluar ke halaman markas geng Alvaska, mengayuh kursi rodanya sendiri, lalu duduk termenung diatas kursi besi panjang.
Entah apa yang sedang ada di pikirannya sekarang hingga nekat melakukan hal seperti itu.
Tapi malam ini Stella nampak sangat berbeda. Bukan, bukan terlihat sedih ataupun marah, tapi lebih ke tatapan pasrah dan putus asa. Biasanya, Stella akan terlihat emosional dengan apa yang dia rasakan. Dia akan marah dan melempar barang-barang di sekelilingnya, atau menangis kencang sambil meraung-raung.
Stella memandangi bulan yang tepat berada diatas kepalanya dengan menghembuskan nafas panjang.
"Kata orang, kalau rindu dengan seseorang, berbicara lah kepada bulan, orang itu akan mendengar mu melalui bulan"
Ucapannya terhenti sejenak. Ia sedang menahan sesak yang menggebu-gebu di dadanya saat ini.
"Mama..."
"Aku rindu ma..."
"Aku sakit, aku lelah, aku tersiksa disini..." Buliran air mata perlahan-lahan jatuh membasahi pipinya.
"Kenapa dunia sekejam ini kepadaku? Aku harus bagaimana lagi agar bisa selalu terlihat kuat di depan orang lain? Padahal kenyataannya, aku sangat lemah"
"Apa lagi tujuan ku hidup di dunia ini? Tidak ada bukan? Ah miris sekali hidup ini, disaat aku mulai memiliki alasan untuk bertahan, malah alasan itu sendirilah yang akhirnya membuatku semakin putus asa"
Stella mengulum senyum sendu sambil menunduk, "berharap kepada manusia itu memang seni paling menyakitkan di dunia ini"
Hembusan angin terdengar berbisik-bisik di telinga Stella, seolah membantu menenangkannya sembari mengusap rambut indahnya. Jalan raya yang sepi kendaraan karena hari sudah mencapai tengah malam, semakin menambah kesan sunyi.
Seekor burung gagak hitam terbang dari arah barat. Stella mendongak, mengikuti arah terbang burung itu. Ternyata burung itu bertengger di kursi panjang yang diduduki Stella, seperti menemani kesepiannya.
Stella tersenyum, "hai burung gagak, tolong katakan kepada semuanya ya kalau aku ingin beristirahat, aku lelah, aku ingin ikut dengan mama......"
Stella mengusap air matanya. Ia menyandarkan punggungnya di kursi. Kembali memejamkan matanya.
Pejaman mata yang entah akan terbuka kembali atau tidak.
***
"LO GILA YA ANJ*NG?!"
"BANGS*T! DIA ITU CUMA SAHABAT GUE! KITA GA ADA HUBUNGAN APA-APA!!"
PLAAKK!!
Eros menampar mulut Adrian dengan air muka yang sulit didefinisikan.
"Kalau sahabat, seenggaknya lo tau batasan sama dia bro"
"Udah dibilang, gue GAK NGAPA-NGAPAIN!" Tegas Adrian di akhir kalimatnya.
"Terus aja lo ngelak, padahal dokter Tommy juga tau kalau semalam lo berduaan di kamar sama cewe itu"
"Ya dia cuma pengen jenguk gue, kocak! Lo sensi amat sih?"
Eros mengeraskan rahangnya, "gue gak habis pikir sama lo! lo bener-bener definisi cowo baj*ngan yang sebenernya!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
DEKAPAN HUJAN | END
Teen FictionJudul awal: BUKAN LEMAH HANYA LELAH "Dia, hujan. Yang selalu mengerti isi getaran kalbu. Membelenggu atma disaat lara menguasai rongga dada. Menyimpan kenangan dalam untaian nadanya yang tak beraturan." **** Kisah ini tentang Stella Maribelle, seora...