Pintu coklat sedikit terbuka, udara sejuk dari pendingin ruangan sedikit lolos di sela pintu. Joong mencoba mendorong pelan hingga mendapati Phuwin terduduk di atas ranjang, dia melangkah masuk namun tak kunjung mendapat perhatian dari sang adik.
Dengan pandangan prihatin dia duduk di kursi, kemudian berdehem pelan. "Apa aku mengganggumu?"
Phuwin menggelengkan kepala
"Tidak banyak yang ku ingat tentang Nine" sang adik menatap aneh ke arahnya, sesaat dia berhenti bicara.
"Apa maksud mu?"
"Aku ingin mencobanya..."
Phuwin merengut selimut ditangannya dengan kuat, seolah ingin menangis dan memaki. "Apa maksudmu? Mencoba apa? Mencoba memanfaatkan Dunk untuk melupakan masa lalu mu?"
"Phuwin, dengarkan penjelasan ku dulu"
"Brengsek, lalu jika kau tak bisa melupakan Nine bagaimana? Kau akan meninggalkan sahabat ku?, Kenapa tidak Sekalian saja menghilang dari hidupnya"
Kemarahan itu memuncak, dan Joong sedikit memundurkan badannya "Phu... Aku sama sekali tak berniat jahat pada Dunk, anggaplah kami sedang berusaha saling menggenggam tangan untuk mencari jalan keluar"
"Kau harus memastikan perasaanmu" Phuwin berkata pelan, ada secercah harapan dalam nada suaranya "aku mohon, jangan sakiti Dunk-ku"
Kesakitan yang di terima Dunk bukanlah hal biasa bagi Phuwin, ikatan kuat terjalin lama. Dunk menjadi sosok manis yang begitu berarti untuknya, dan Phuwin tak akan pernah berhenti memperjuangkan kebahagiaan lelaki itu.
"Aku akan bicara pada Dunk tentang ini, tapi aku mohon bantu aku"
Sekilas Phuwin bisa melihat keseriusan itu, hingga dia akhirnya mengangguk pelan tanda setuju. "Aku akan membantumu bicara pada Dunk"
.
.
.
.
."BBQ sepertinya menyenangkan" anak sungai membelah rawa-rawa, di jembatan kecil penghubung kedua taman yang bersebelahan, kedua lelaki manis duduk. Phuwin menatap Dunk meminta pendapat "bagaimana? Mau membuat BBQ yang lezat bersamaku?"
Dibanding menjawab pertanyaan itu, si manis nampak lebih sibuk mengusap tangan Phuwin sekolah memainkannya dalam khayalan panjang.
"Dunk... Kau tak pernah seperti ini sebelumnya?"
Dia mengangkat dagu, menelisik lebih dalam mata sahabatnya. "Karena dulu kau belum tau perasaanku, aku jadi sungkan untuk berekspresi sedih didepanmu. Sekarang kau sudah tau, aku tak perlu menyembunyikan apapun"
"Kacau sekali"
"Humm, hatiku kacau sekali"
Phuwin menggerakkan satu tangan mencubit lengan Dunk kemudian berekspresi masam, mereka kembali menatap sengit. "Ini kesempatan terakhir untukmu, kau tak niat mencari yang lain saja? Kakakku menjengkelkan"
"Sebenarnya aku memang tak niat dengan siapapun-
-bahkan Joong?"
Dunk menghela nafas panjang, tatapan menyempit tak berarti apa-apa "yang itu beda cerita"
"Bodoh"
Larut dalam perasaan asing seumur hidup adalah penyiksaan luar biasa, tepat di dekat sungai kecil gemericik air bersuara jelas. Menautkan jemari lagi kedua sahabat itu bersenandung meninggalkan taman, ada jutaan bintang di angkasa menemani malam mereka.
Anak-anak kecil berlarian dengan gaya jalan berselang-seling mencari tawa juga hiburan, salah satu dari miliyaran manusia dia telah jatuh hati cukup lama. Poni manis yang manis hampir menutupi mata Dunk, dia menggerakkan kepalanya sedikit terganggu hingga tiba di trotoar jalan utama, Phuwin melambaikan tangan guna memberhentikan taksi dinaiki oleh keduanya.
"Kukira kita akan menghabiskan banyak waktu diluar rumah"
"Aku kedinginan, mau makan BBQ" jawab Phuwin bersedekap, dengan jelas menatap pergerakan sang sahabat lewat ujung matanya "kau tak masalah kan?"
"Humm, tak masalah.. jika Phuwin ingin makan BBQ aku akan menemani, di kedai mana?"
"Dirumahmu"
Dunk agak bingung, berpikir sejenak kemudian memeluk lengan Phuwin "kau yakin?, Aku bahkan tak memiliki persediaan apapun di rumah"
"Lalu? Setiap hari kau makan apa?"
Dengan santai jemari mematuk dagunya sendiri seolah berpikir "aku delivery saja"
"Dunk... Cobalah memasak lebih sering, bahkan jika orang tuamu sibuk di luar rumah kau tetap harus makan sesuatu yang sehat"
Dia sedikit terharu kemudian terkekeh manis mengangguki ucapan Phuwin "tak usah khawatir, aku selalu memesan makanan yang sehat"
Angin malam lebih sejuk dari biasanya, hiruk pikuk terdengar nyaring ketika taksi berhenti di lampu merah. Sejak lima menit yang lalu percakapan mereka berhenti, dan saat ini Phuwin nampak lebih sibuk memainkan handphone guna memesan bahan masak BBQ di sebuah situs jasa pengantaran.
Aroma tak asing, jajanan pinggir jalan yang khas di ibu kota. Persimpangan penuh anak kecil mengembara jutaan lagu dengan senandung riang, bak purnama jutaan tahun telah tenggelam, Dunk baru lagi menyaksikan keramaian setelah lama sibuk menyelesaikan perasaan yang tak kunjung usai.
Sangat rindu, entah pada siapa. Suasana hati tak tenang, telah lama perasaan asing di dalam hatinya bersarang. Kini harus menerima kenyataan mengangkat bendera putih tanda menyerah, rasanya ingin menenggelamkan diri dalam lautan harapan meski tak nyata namun menyenangkan.
Pagar-pagar tinggi di kompleks tempat tinggalnya mulai terlihat, trotoar beton rapi hingga rumput kecil memenuhi daerah pinggir jalan. Taksi kuning berhenti tepat didepan sana, secara nyata perasaan sendu kembali memenuhi hati. Dia turun dari mobil, membiarkan Phuwin menyelesaikan pembayaran kemudian mereka mulai berjalan beriringan masuk ke dalam rumah.
Dengan di terangi cahaya lampu, Dunk mulai sibuk menjejerkan piring serta beberapa saos di atas meja. Sedangkan Phuwin mulai sibuk saling bertukar pesan dengan pengantaran belanjaan mereka, hingga selang beberapa menit keduanya berhasil mendapatkan daging untuk dipanggang.
Pemanggangan apik yang terlihat cukup mudah dibalut dengan minyak, satu tangan membolak-balikkan daging dengan antusias. "Dunk..."
"Humm?" Ada gelagat aneh dari sahabatnya, Dunk perhatikan phuwin terus-menerus mengamati dengan gelisah. "Kau kenapa sih? Ada apa?"
"Aku akan keluar sebentar-
-shia... Kita bahkan belum mulai untuk makan, kenapa buru-buru?"
"Ehh, tunggu sebentar saja yah... Aku akan mengambil pesanan dari pengantar di depan teras" Phuwin berdiri dari posisi duduk, memberikan gestur untuk menenangkan Dunk yang sudah total kebingungan.
"Demi apa, makanan sudah sebanyak ini. Apalagi yang dia pesan?" tak ingin ambil pusing, Dunk lanjut membolak-balikkan daging. "Sial..." Seketika, rasa sakit mengingat perasaan cinta kembali mengelilinginya. Cepat-cepat Dunk memakai sarung tangan plastik, tangannya mengulur untuk memisahkan selada. Ditengah keasyikannya, sebuah pergerakan mencuri perhatian.
Selada segar masih menetap ditangannya, matanya mengarah pada sosok tinggi dengan perawakan tampan. Tak asing lagi, pria itu duduk di tempat Phuwin secara gamblang menyambar satu potong daging dan memakannya. "Ini, enak..."
"Joong?, Kenapa kau?" Tunggu, rasa terkejutnya belum hilang. "Mana Phuwin?" Tanyanya dengan hati-hati menggeser kursi agar lebih berjarak dari Joong
"Oh..." Joong nampak mengangguk untuk sesaat, lalu dia mengangkat bahu. "untuk apa mencari Phuwin lagi? Apakah semua ini tidak jelas? Bahwa kami merencanakan situasi ini? Dunk... Kau payah"
"Sial... Aku tak habis pikir" dengan tatapan hampa, meletakkan daging diatas selada.
"Dunk, ayo berbicara serius denganku" terlihat Joong mulai menatap wajah manis itu, berjaga-jaga "Kita bisa memulainya, sebuah hubungan yang berdasar untuk membangun perasaan" saat dia berbicara lagi, suaranya melembut penuh penekanan.
"Jika kau memang tak bisa mencintaiku, kenapa kau memaksakan diri?"
.
.
.
.
.
.
.To be continued
Jangan lupa tinggalin jejak kak, maaf masih berantakan makasih, udh mampir 🙏🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Heart [Joongdunk]18+[END]
Fanfiction"Jangan menangis, mari kita belajar lagi" Joong tak bergerak sama sekali, dia menghela nafas panjang menatap langit buram. "Bagaimana jika aku gagal lagi, Dunk?" "Maka kita akan memulai lagi segalanya dari awal, setidaknya kita masih punya keyakinan...