Berjuta cerita tertulis di tiap lembar kehidupan orang-orang, hangat mentari menepi di pinggiran tanah kering. Malam yang begitu sepi terlewati lagi, tak pernah mudah melepaskan kisah dari awal pertemuannya bersama sosok tampan tegap yang tak pernah lagi terlihat setahun terakhir.
Malam hari menjadi begitu sunyi di kala itu, rembulan selalu pergi tanpa menitipkan perasaan rindu satu kalipun. Kini wajah manis itu nampak setolol hatinya, kering tanpa tanda kehidupan sama sekali. Sepanjang tahun bertahan di atas rapuhnya perasaan, dia tak pernah berusaha berlari mengejar cintanya lagi.
"Sekarang aku mengerti, mengapa ada yang menjalani hidup tanpa berdampingan dengan orang yang dicintai..." Bukan perihal cinta atau tidak, ini hanya takdir.
Kenyataan pahit bahwa dia tak bisa menggapai pujaan hati, dia tak pernah puas akan segala perlakuan dimasa lalu. Dia mencintai, namun maaf belum sepenuhnya di berikan. Tertelan begitu saja karena rasa benci, simpatinya hilang karena dendam kecil di lubuk hati.
"Kenapa melamun?"
Dunk mengangkat dagu, tersenyum dengan kegembiraan hambar "aku hanya senang melihat anak-anak berlarian di sana"
Seberang sungai yang terang, gemericik suara air melukai hati. Dia menghela nafas panjang, segelas kopi di letakkan oleh Dew ditangannya. Tanpa berkata apa-apa dia diam lagi sepanjang waktu, pemandangan ramai seolah memberengut perhatiannya.
Tuhan... Hatinya sakit sekali, rapuh tanpa tindakan apapun sepanjang malam menangis dan berdoa agar bisa melupakan lelaki itu di sisa hidupnya. Kejam sekali... Melukiskan kisah seribu satu malam yang indah seolah menunjuk karpet terbang dengan kuda awan, matanya berair hebat.
Lelaki tinggi di sampingnya bungkam, dia terisak hebat membenamkan wajah di telapak tangannya. Rindu ini tak kunjung hilang, sakitnya tak juga terobati. Suasana jelas mulai gerimis, air memantul berwarna bening.
"Menangislah Dunk, sampai kau merasa lega..."
Seolah waktu tak pernah berhenti menyudutkan, dalam kegelapan remang-remang dia terlihat pucat. Jutaan tetes air menerpa bumi, dia tak berhenti akan kesedihannya. Sekali lagi, dia kembali tersadar bahwa cintanya di masa lalu tak akan usai.
"Sakit sekali..." Suaranya pelan, Dew mengusap bahunya penuh perhatian.
"Jangan pernah memaksakan perasaanmu, itu menyakitkan..."
"Aku akan belajar Dew, aku janji..."
"Satu tahun belajar sudah terlalu lama.." senyum tulus yang terpatri di wajah tampan kekasihnya jelas penuh kerelaan "jika kau terus menyakiti hatimu, aku ikut terluka Dunk."
Keduanya menatap lama, waktu terus berjalan semu. Langit masih gemericik menjatuhkan air, mereka sama-sama terluka. Menahan gundah ditiap lembar cerita, mengusap dada masing-masing mencoba memberi semangat bertahan pada takdir sunyi luar biasa.
Keramaian begitu indah, namun mereka berdua merasakan kesepian di tiap detiknya. "Kita harus berhenti, aku mohon..."
"Dew..." Wajah manis itu muram, menatap mata Dew dengan perasaan kacau tak karuan "maafkan aku..."
"Maaf kenapa Dunk? Karena perasaan mu tak bisa memilihku?" Suara serak jelas kecewa, dan Dunk menggeleng pelan "itu manusiawi, perasaanmu murni tak bisa disalahkan"
Mereka terdiam saling menatap dalam kegundahan penuh, lelaki manis jelas sarat akan rasa bersalah seutuhnya. Dia bahkan terus menggenggam tangan Dew hanya untuk mengutarakan segala sesal hatinya, dunia menjanjikan bahagia dengan kenyataan duka. Keputusan yang sulit ada ditengah-tengah nya, sakit tak berwujud merayap kedalam jiwa.
"Sekali lagi, maafkan aku..."
"Jangan mengira aku menyalahkan mu, aku terlalu banyak memikirkan ini. Tapi beberapa saat kemudian aku kembali mengerti, kau jauh lebih sakit memerangi perasaan mu setiap hari" ketulusan jelas dari nada bicara Dew, tangan pemuda itu mengusak rambut Dunk penuh pengertian "aku bersyukur kau membicarakannya, lama sekali disini tanpa kepastian apa-apa"
Si manis menunduk penuh terimakasih, genggaman tangannya terlepas penuh. Satu gerakan lambat sedikit mundur, dia berjalan pelan dan menatap lamat wajah Dew "aku pergi duluan, ada tempat yang harus ku datangi"
"Aku akan mengantarmu..."
Saat berbalik dia seketika menggeleng, mungkin Dew sudah sangat paham dengan kegundahannya. Pria itu membiarkannya, menangkap pergerakan penuh untuk menghindar. Sampai di trotoar jalan, dia menyusuri dengan langkah pelan dan pandangan kosong.
Halte bus tempat terakhirnya duduk dengan kondisi yang sama, bahkan saat bus datang dia menyeret kakinya penuh kehampaan. Kaca buram udara dingin, mematahkan semangatnya berkali-kali. Dalam ketenangan, syair nyanyian di dalam bus tak kunjung menyejukkan hati.
Suara gemerisik di sekeliling tak begitu menarik perhatian, derap langkah kaki terus lewat disisinya. Saat tiba di halte tujuan, Dunk berbaris bersama penumpang lain. Berjalan sendiri menuju tepi jalan, penerangan di ujung sana sudah redup dengan alunan sama lagu nostalgia membuat rindu.
Lama sekali derap langkahnya mencoba menghitung kotak-kotak jalan, jaket tebal tak bisa memberi kehangatan. Lampu jalan redup cukup menyilaukan, dia memasukkan tangan ke saku. Hingga sampai di depan kedai, matanya redup.
"Ingin memesan apa nak?"
Kepalanya berbalik sejenak, sosok pria tua begitu cerah menyambut kedatangannya. Hendak lelaki tua itu menengok ke belakang kanan dan kiri memastikan sesuatu, Dunk sedikit bingung.
"Sup kaldu ayam" jawabnya singkat berjalan pelan ke arah meja kosong, matanya tak tertarik lagi menatap sekitar.
Tangan lentik melekat di permukaan meja, rasa sedih tak kunjung reda. Matanya berair lagi masih dengan kisah yang sama, mengakhiri malam penuh penderitaan setiap harinya.
"Kau datang sendiri nak?"
Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mengangkat dagu melihat atensi lelaki tua meletakkan semangkok sup di atas mejanya. Dia menggigit bibir, menahan gejolak rindu luar biasa.
"Kalian sama saja, menjadikan kedaiku tempat menangis saat saling merindukan..."
Tak terasa lagi, sunyi nya suasana kedai. Hanya suara kipas angin memutar bising, Dunk tau air mata dengan sangat kurang ajar mengalir di pipi gembil nya.
"Paman, apa kau bicara padaku?"
"Lama sekali kau tak pernah kesini, kupikir kau sudah melupakan pemuda cengeng itu. Dia kekasihmu kan? Pernah mengajakmu makan di kedaiku?" Pria tua itu tersenyum lembut, namun tak ada senyum balasan dari Dunk melainkan sebuah anggukan. "Yah aku ingat, sejak kecil dia dan keluarganya makan disini. Dia bilang sup kaldu buatan kedai kami sangat hangat, hari itu dia membawa kekasihnya. Tak kusangka dia kembali dan menangis, aku jadi terharu... Dia menjadikan tempat tua ini temannya dalam segala suasana hati"
"Paman... Apakah Joong menangis disini?"
"Dia pernah datang menangis sudah lama sekali, kadang aku bertanya-tanya kenapa dia tak muncul lagi"
"Dia pergi paman, dia tidak di Thailand lagi"
Seberkas cahaya menyinari punggung tangan Dunk, dia berbalik menengok lampu kedai yang menjuntai hampir jatuh. Lelaki tua itu tertawa pelan kemudian menepuk bahunya, jelas mereka baru saja mengobrol beberapa menit yang lalu.
"Nak, dia bilang semua hanya kesalahpahaman. Dia ingin menjelaskan, tapi kau tak mau melihat wajahnya lagi" tawa itu terdengar haru, lelaki tua menepuk meja pelan-pelan "kami semua para orang tua menertawakannya, dan dia kesal kemudian mengaku bahwa dia memang pecundang"
"Tapi hatiku sakit..."
"Tapi sekarang kau menangis, menangisi orang yang juga menangisi mu setahun yang lalu."
Dunk tak berkutik, dalam keadaan ini perkataan pria tua seolah memberikan fakta luar biasa. Yang diketahui bahwa cintanya tak memiliki batas, sebelum berbelok arah lebih dulu tak ada jalan untuk berpaling. kibasan tangannya tak tentu arah mencoba menghentikan sesak, air matanya mengucur deras.
"Paman... Hiks... Aku rindu sekali padanya..."
.
.
.
.
.
.
.To be continued
Maaf bnget yah harus lama, soalnya takut alurnya terburu-buru. Takut ada yang ngomong, kenapa karmanya singkat lah, nggak puas lah. Dan lain-lain, makanya kucoba panjangin alurnya demi kenyamanan bersama😭🙏🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Heart [Joongdunk]18+[END]
Fiksi Penggemar"Jangan menangis, mari kita belajar lagi" Joong tak bergerak sama sekali, dia menghela nafas panjang menatap langit buram. "Bagaimana jika aku gagal lagi, Dunk?" "Maka kita akan memulai lagi segalanya dari awal, setidaknya kita masih punya keyakinan...