Cuaca terbilang sangat panas pagi ini, sejak semalam hujan sudah berhenti dan seutas tali tas di permukaan nakas menjuntai ke bawah. Dunk mengerjapkan mata merasa tak nyaman karena sesuatu terasa berdenyut-denyut di pelipisnya, sejak pulang dari acara penyambutan mahasiswa baru semalam dia dan Phuwin kerepotan karena sering mendapat ajakan.
Niat hati ingin menolak pun rasa-rasanya tak mungkin, dia mencoba duduk dari posisinya.
"Ckk... Kepalaku sakit, semalam terlalu mabuk"
Lelaki manis mulai sibuk melucuti pakaian, memasuki kamar mandi dengan suasana hati yang masih terbilang berantakan. Tak terbayangkan harus jadi mahasiswa yang aktif, banyak menghabiskan waktu jadi babu senior.
"Akhh... Menjengkelkan, aku dan Phuwin akan jarang menghabiskan waktu bersemedi dalam kamar"
Shower mulai menyala, menjatuhkan titik demi titik bulir air hangat. Tangan lentik menyapu wajahnya yang basah, sangat menyegarkan. Dunk bersenandung kecil, telunjuk mengikuti garis tak beraturan di permukaan keramik dinding.
Nada lagu berhenti, dia nampak berpikir serius. Semalam saat mabuk siapa yang membawanya pulang?, Tak sadar sama sekali, seharusnya jika itu Phuwin maka sahabatnya sudah pasti menginap di kamar sejak semalam.
Buru-buru dia membuka pintu kamar mandi sejak selesai membersihkan badan, tangannya menyambar handphone di atas nakas.
"Ya ampun, Phuwin... Cepat angkat"
"Halo..."
"Phu, semalam siapa yang mengantar ku pulang?"
"Kau mabuk, jadi aku menyuruh kakakku. Soalnya Pond sempat mengajakku berkeliling semalam"
"Akhh... Phu, kenapa harus kakakmu?"
Tanpa menunggu jawaban dari sahabatnya lagi Dunk memutuskan panggilan secara sepihak, kakinya melangkah ke depan lemari pakaian. Mulai memilah kemeja putih kotak abu-abu bergaris tipis, jemarinya mengacak baju di tumpukan. "Ckk... Sial, sejak tragedi tak mengenakkan hari itu, aku tak pernah bisa bernafas lega saat Joong ada di sekitarku"
Hampir setahun lamanya waktu terus berlalu, terakhir kali saat liburan hubungannya dan Joong tak pernah baik. Dia mulai sungkan, dan paham bahwa lelaki itu ikut merasa bersalah padanya.
Dia tak pernah menuntut apapun, tak pernah merasa di lecehkan karena sejatinya hari itu dia sepenuhnya sadar semua terjadi karena keinginannya yang menggebu-gebu. Tau situasi mulai tak normal di antara mereka, dia mulai jarang mengunjungi Phuwin di rumahnya, dia jadi jarang bermain disana lagi. terkadang dia yang memaksa sang sahabat keluar, atau bahkan berdiam diri di kamar Dunk seharian.
Sekejap tatapan tertuju pada cermin yang menampilkan bayangan tubuhnya, sekilas teringat kejadian hari itu. Dadanya telanjang dengan telapak tangan Joong ada di atas sana, bahkan tanpa sungkan melangsungkan ciuman bertubi-tubi di antara mereka. Dia jadi merinding, seketika wajah manis merona ingin histeris.
"Sial..."
Dia berusaha tetap meraih rasionalisasi dari kekalutan yang terjadi dalam dirinya sendiri, saat itu kematian menimpa seluruh saraf tubuh kecuali gelora nafsu yang biadab. Dia jatuh dalam kubangan takdir yang membingungkan, hubungannya dengan Joong tak lagi sama hebohnya beberapa waktu ke belakang.
"Ayolah, Joong bahkan tak pernah memikirkan soal ini. Kenapa aku yang heboh sendiri?"
.
.
.
.
."Joong..."
Lelaki tampan yang duduk di kursi terlihat menoleh ke arah pintu kamar, wajahnya sedikit buram. "Siapa?"
"Adikmu, bangsat..."
Joong membuka pintu, menampilkan wajah sang adik yang melihat ke dalam kamar, ragu-ragu dan masuk. "Kau kenapa, sih?"
"Semalam saat kau mengantar Dunk, apa terjadi sesuatu?"
"Sesuatu apa?"
"Semacam, kau tak sengaja menyentuhnya?"
Joong menatap lelaki manis itu, "gila..." Suaranya tajam. "Kau pikir aku suka barang murahan, seperti Dunk?"
"Shia... Bicaramu" Phuwin kepanasan, telunjuk tangan mendarat di dahi Joong. "Aku hanya bertanya, tinggal jawab dengan normal saja susah sekali"
"Tidak, aku tak berniat mencintai siapapun kecuali Nine"
"Ahh... Iya, bucin tolol"
Joong memandang adiknya dengan masam, rasa cinta memang segila itu tak pernah hilang dalam hatinya.
"Tapi orang-orang cenderung melakukan sex bahkan tanpa cinta, aku takut kau terlalu rindu pada mantan kekasihmu sampai menjadikan Dunk tumbalnya"
"Aku tidak se-brengsek itu"
"Baiklah, itu bagus" Phuwin menyingkirkan tubuh kakaknya dengan tak sabar, lelaki manis itu akhirnya sudah menghilang di balik pintu kamar.
"Menjengkelkan"
Wajah Joong tanpa ekspresi, dia memberikan decakan kesal saat mengingat peristiwa hari itu. gila, benar-benar mengapa harus melakukan hal tak senonoh pada sahabat adiknya. Sekarang problematika jauh lebih panjang, Dunk mulai canggung berada di dekatnya dan jujur itu sangat mengganggu.
"Apa yang dia harapkan?, Aku malu dan tersipu?. Padahal hari itu, dia yang memintanya"
Joong terduduk di atas ranjang, perasaan tak karuan membuncah menyesali kejadian hari itu. Belum sempat memikirkannya sedari dulu karena masalah Phuwin, kini jika diingat-ingat lagi dia jadi kesal sendiri.
"Aku takut, aku takut orang lain berusaha membuatku nyaman. Bisakah kau kembali saja?"
Tak tau lagi, berapa lama dia akan berdiri mengamati foto lelaki manis di atas salah satu rak nya, pandangan lurus menyiratkan kesakitan begitu jelas.
Pelan-pelan air matanya mulai menetes, merasa begitu kalah dengan situasi. Memaksa diri merelakan kekasihnya perihal keadaan, mundur lebih jauh karena tau bahwa mereka tak akan pernah bisa bersama terhalang restu. Hanya cerita cinta semu, dia merelakan lelaki manisnya pergi demi pendidikan. Dan kini dia harus menerima kenyataan bahwa telah lama sejak terakhir kali Nine meminta izin untuk mengakhiri cinta mereka, kesakitan yang luar biasa.
Ada harapan di tiap nafasnya, memangkas ragu demi perasaan. hatinya telah lama mati dalam penantian, semua kejutan hidup tak lagi menyenangkan. "Kadang-kadang aku bertanya di dalam hati" katanya termenung. "Apakah Perasaanmu masih ada?, Sedikit saja?"
Phuwin terdiam lama di ambang pintu, aroma kopi hangat menyeruak dari tangannya yang memegang cangkir. Wajahnya ikut buram, kesedihan yang telah lama di tanggung saudaranya tak kunjung usai menemukan titik terang.
"Jika kau masih mencintai Nine, Mulailah berlari dan kamu akan berlari selamanya" begitu paham, meski Joong menatapnya tak mengerti. Phuwin masih serius "kau tak akan pernah mendapatkannya, bukankah dia sibuk dengan pendidikan dan bergantung pada orang tuanya. Percayalah, dia tak akan meninggalkan semua itu hanya untukmu."
"Kenapa tidak?"
"Pada akhirnya kau akan tau, bahwa dia hanya menyisakan cerita untukmu Joong. Bukan cinta" Phuwin tersenyum kecil, membalikkan badan dengan secangkir kopi masih setia di jemarinya.
Joong punya hati dan perasaan, namun Nine tak bisa dipastikan. Dia Belum bisa membebaskan diri dari rasa takut untuk berlari meraih harapan, gambar mati tak bergerak selalu mengukir senyuman. Semakin dekat, seiring detak jantungnya berpacu dia yakin bahwa cintanya telah abadi.
"Kembalilah, tinggal dan berjuang bersamaku. Aku janji tak akan melepaskan mu lagi untuk yang kedua kali, Nine... Aku mohon"
.
.
.
.
.
.
.To be continued
Jangan lupa tinggalin jejak kak, maaf masih berantakan makasih, udh mampir🙏🏻
⚠️ Jika ada yang ingin tau Cerita lengkap, dan awal permulaan hubungan joongdunk ada di cerita My Sweet Love Pondphuwin. Jdi ini lanjutannya dan lebih fokus ke couple joongdunk saja. Maaf atas ketidaknyamanannya.🙏🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Heart [Joongdunk]18+[END]
Fanfiction"Jangan menangis, mari kita belajar lagi" Joong tak bergerak sama sekali, dia menghela nafas panjang menatap langit buram. "Bagaimana jika aku gagal lagi, Dunk?" "Maka kita akan memulai lagi segalanya dari awal, setidaknya kita masih punya keyakinan...