Cuaca sedang tak bersahabat, rintik air menuruni pijakan di bumi. Seorang lelaki manis mengepakkan payungnya dengan ragu, tatapan tak nyaman dia berikan pada pemuda tegap di pinggir koridor menatap langit.
Langkahnya begitu pelan mencoba berani, Dunk menyodorkan payung yang dipegang pada sosok tampan itu. "Pakai ini saja"
Joong melirik sekilas dan membuang muka. "Urus saja dirimu sendiri"
Dunk mengangguk pelan, kemudian menarik tangan Joong. Meletakkan dengan kuat payung itu digenggaman pemuda tegap, matanya menatap dengan harap. "jangan merasa tak nyaman dengan kepedulianku, aku melakukannya dengan tulus"
Lari dengan derap teratur, lelaki manis mencoba menghilang di balik hujan. Langkahnya lenyap dengan sebuah payung di pinggir koridor, Joong menatap pemberian itu dengan wajah nanar. "Aku tak berniat jahat sama sekali, tapi bukan dia yang kucintai"
Manis senyuman dengan gigi mungil tertata rapi terbayang di benaknya, sosok menggemaskan yang telah membawa separuh hatinya benar-benar tak pernah kembali. Sepatu putih menginjak genangan air, payung ditangannya digeletakkan begitu saja di lantai koridor. Hanya mengandalkan tangan, Joong berusaha melindungi kepala dari air hujan.
Air terkoyak rusuh dengan langkah cepat, Joong memasuki gedung lain dan mencari perlindungan lagi. Lahan parkir tepat di depan sana, hingga sosok manis terlihat meringkuk memeluk diri sendiri seolah menahan rasa dingin.
Joong berjalan lurus, berusaha menghindar dari tatapan Dunk. Dia menatap hujan yang tak kunjung berhenti, seolah disana Dunk bertanya-tanya kemana payung yang tadi lelaki manis itu berikan. Namun Joong tak mau ambil pusing, dia hanya tak ingin memberi harapan.
Akhir dari cinta di pelupuk jiwa mendera, dia sadar semuanya telah habis untuk mantan kekasih seorang. Suara ribut hujan semakin menyakitkan, dia menoleh ke arah Dunk kemudian berdehem. Ada rasa paranoid untuk memulai pembicaraan, wajah manis disana nampak kecewa mungkin perihal payung. "Kau pulang dengan siapa?"
Dunk mengangkat wajah, merelai rasa khawatir dan menengok kanan-kiri seolah memastikan pertanyaan itu tertuju untuknya. "Kau bicara padaku?"
"Payah..."
"Iya, aku tak tau pulang dengan siapa" sergahnya dengan cepat
Joong mengangguk, dia menggaruk lehernya dan menatap Dunk kembali. "Ikutlah denganku, aku bisa mengantarmu pulang"
Dunk mengangguk semangat, mengekori langkah Joong menuruni anak tangga dan berlarian ke arah parkiran. Mereka berdua terburu-buru memasuki mobil, duduk bersebelahan dan Joong mulai mengusak rambutnya yang basah. "Sial..."
"Hujannya deras..." Dunk menatap pilu pada bajunya yang sudah sangat basah.
Joong memutar bola matanya, dia mulai menyamankan diri menjalankan mobil keluar dari kawasan kampus. Hujan semakin deras, udara cukup dingin hingga Joong sekali-kali mencuri pandang pada sosok yang menggigil di sampingnya.
Dia membentangkan tangan ke arah jok belakang, mengambil sebuah jaket dan melemparkannya pada Dunk. "Lapisi sandaran kursimu dengan jaket ini, nanti kursinya jadi basah"
Si manis mengambil jaket itu, menuruti kata Joong dan mulai menjaga jarak pada sandaran kursi. "Joong..."
"Humm..."
"Soal hari itu, waktu kita-
-aku tak pernah merasa melakukannya, kita sama-sama tak sadar hari itu. Dan mungkin aku sedang tak stabil, itu sudah berlalu sejak lama sekali. Mari kita hentikan kecanggungan ini, benar-benar menjijikkan"
Dunk mengatupkan bibir tak jadi melanjutkan ucapannya lagi, dia terima saja kata demi kata kesal dari lelaki itu. Sedetik setelah itu, dia mulai menunduk. Ingin memaki dirinya sendiri, mengapa jadi lemah dan tak bisa mengendalikan hati.
Udara hangat dari mobil tak bisa menenangkan dirinya, dalam ribuan urat nadi mengalir rasa indah kala Joong menatap matanya. Perasaan yang tak bisa dia jelaskan, duka tak terasa, bahagia tak kunjung habis. Dia mendapati dirinya jatuh cinta segila ini, dia menengok Joong dengan mata sendu.
"Aku tak pernah mencintai siapapun selain Nine" tanpa mengucap apapun, Joong berbicara duluan sembari fokus menyetir.
"Aku tak meminta cinta yang kau berikan untuk Nine diserahkan padaku"
"Dunk... Hentikan saja, okay?"
Sembab kulit dengan luka tercabik bagaikan tertera di hatinya, Dunk mengangguk pelan seolah tak rela menerima kenyataan bahwa perjuangan manisnya di luluh lantakkan.
Mereka terdiam cukup lama, mendengar degup jantung masing-masing. Mengabarkan pilu dalam untaikan kata hatinya, Dunk terus menatap keluar jendela. "Joong, maafkan aku..."
"Maka, hentikan kegilaan ini, kembalilah seperti dulu. Bagaimana kita baik-baik saja di sekitaran Pond dan Phuwin"
Dia tak memiliki kuasa apapun, tak terbantahkan. Logika bermain apik membuatnya lelaki manis berdaya, rasanya ingin berlari meninggalkan harapan dan kekecewaan. "Cobalah denganku..." Suara manis bergetar "berjuanglah bersamaku, dan aku akan menemani mengobati hatimu..."
Joong menggelengkan kepala, menahan diri dari tangis kemudian mencengkram kuat setir mobil. "Kau siapa? Mencoba membuatku lupa dengan Nine?"
"Aku hanya khawatir, kau tak bisa merasakan kebahagiaan murni setelah Nine pergi" semakin dekat seiring setiap detak jantung, Dunk tersenyum yakin. "Coba buka hatimu sesekali" suaranya bergetar tajam, mata lentik itu terpejam rapat mengepalkan tangan.
Mobil akhirnya berhenti disisi jalan, Joong menengok pada pria manis yang menunduk menahan tangis. "Kenapa harus aku Dunk? Kenapa harus aku yang kau cintai?"
Tangisan pecah, Dunk menatap lelaki tampan itu dengan wajah sembab "karena... Karena yang menyentuhku hanya kau" suara si manis sedikit meninggi.
Joong meredup, lengannya tersampir di belakang jok tempat Dunk duduk. Dia mendekati pria manis, menghembuskan nafas tepat di wajahnya dan menatap lekat lebih lama. "Dunk... Sebesar apa cintamu padaku?" Bungkam, tak ada jawaban apapun, hingga Joong mengusap pipi Dunk sangat lembut seakan memberi kehangatan. "Jika kau mencintaiku sebesar dunia, maka Nine mendapatkan cintaku sebesar semesta. Apa kau siap menerima kenyataan itu?"
.
.
.
.
."Sial... Dunk bodoh..." Si manis mengulum senyum pahit, kembali ke suara serak sebelum menghela nafas. "Joong tak mencintaimu, kenapa memaksakan diri?"
Amarah terasa menggelitik hati, tak punya kesempatan sama sekali. Dia terkulai lemas di bawah penolakan tegas dan sepertinya akan abadi, siapakah gerangan lelaki menggemaskan yang beruntung itu? "Dia mendapatkan Joong sepenuhnya, dia mendapatkan hati seseorang yang kuinginkan"
Dagunya mendongak, postur tubuh yang lemah tersandar di dinding kamar. Hari mulai gelap ditambah awan mendung mendera seisi bumi, jam-jam kesedihan penutup sinar mentari. Sinar lampu dari bohlam berkedip sesekali, diantara jendela yang terbuka angin membawa aroma khas tumbuhan yang bergerak-gerak diluar pekarangan.
Dunk duduk di tepian ranjang, nafasnya pelan terus-menerus. Kini tatapan kosong lurus kedepan berselimutkan kesunyian, bibirnya bergetar. "Phuwin..." Dia menangis hebat, memeluk tubuhnya sendiri menyebut nama sang sahabat seolah ingin menceritakan segala kegundahan hati yang telah ditanggungnya.
.
.
.
.
.
.
.To be continued
Jangan lupa tinggalin jejak kak, maaf masih berantakan, makasih udh mampir 🙏🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Heart [Joongdunk]18+[END]
Fanfic"Jangan menangis, mari kita belajar lagi" Joong tak bergerak sama sekali, dia menghela nafas panjang menatap langit buram. "Bagaimana jika aku gagal lagi, Dunk?" "Maka kita akan memulai lagi segalanya dari awal, setidaknya kita masih punya keyakinan...