26

1.4K 128 10
                                    

Malam-malam panjang tak berarti, mentari terus datang dan pergi. Tak satupun hari menciptakan kedamaian, yang didapatnya adalah kesengsaraan. Melihat sosok manis selalu muncul saat dia ada di universitas bukan hal yang mudah, selalu saja seperti ini. Matanya mengerjap berkali-kali, air matanya jatuh begitu saja. Dalam diam kepedihan mengalir bebas di lubuk hati, tak tau pasti berapa lama lagi.

my life, its beauty, Joong mendengar jelas. Derapan langkah teratur disertai nyayian samar-samar begitu nyaring, sebuah kursi pendek didudukinya berusaha menghindar dari Dew dan Dunk yang berjalan menaiki anak tangga.

Untuk kesekian kali dia kembali lega, senyum terpatri begitu jelas di wajah manis Dunk. Sejak berapa lama mantan kekasihnya bahagia? Dia tak pernah melihat lagi. Dew membawa dampak signifikan yang baik, luka yang pernah ditorehkannya terlihat perlahan-lahan memudar.

"Dunk, aku menemukan restoran yang baru buka. Ayo kesana malam ini"

"Aku sibuk, ada laporan yang harus ku kerjakan"

"Mau ku bantu?" Dunk mengangguk pelan, seolah tak ingin memperpanjang pembicaraan lagi di terus melangkah cepat. "Mau atau tidak sih?"

"Terserah..."

"Menjawabnya yang jelas"

"Dew... Aku tak pernah membawa siapapun kerumahku selain Pond Phuwin dan Joong" seolah menegaskan kesendirian telah lama menjadi rutinitas menyenangkan untuknya, namun Dew hanya mengangguk

"Jadikan aku orang keempat yang bisa masuk kesana sebagai tamu"

"Tamu saja?" Nada suaranya seakan berjenaka "kau yakin?"

"Dunk tembokmu terlalu tinggi..." Lelaki berperawakan tampan itu tersenyum kecil, sangat sadar perihal lelaki manis yang masih enggan membuka hati "jangan terlalu lama Dunk, aku rasa kau tak sepolos itu untuk tau maksudku mendekatimu beberapa waktu terakhir..."

Nyatanya tembok penghalang terlalu kuat, menyiratkan kenyataan bahwa cinta telah habis pada seseorang di masa lalu. Keduanya saling berpisah dengan Dew yang telah berjalan meninggalkannya sendiri, Dunk masih diam dalam pernyataan menohok dari lelaki itu. "Aku rasa kau juga tak sepolos itu untuk mengerti bahwa aku memang tak berniat dengan siapapun lagi" bisiknya pelan, kepercayaan yang pernah dibangunnya sudah runtuh. Setelah ini dia memang tak pernah berniat lagi, tak akan pernah.

.
.
.
.
.

"Kau semakin cantik..." Sendok besi memutar di atas mangkok, dipermainkan sejak beberapa saat yang lalu tanpa rasa bosan menikmati pemandangan dari meja paling ujung.

"Mienya sudah bengkak..."

Suara Pond membuat lamunannya buyar, dengan wajah menjengkelkan sang sahabat duduk tepat didepannya dengan semangkuk makanan berbeda.

"Kau tidak makan dengan mereka?"

"Tidak, karena kau sendirian. Kau pikir aku sahabat macam apa?" Pond mengikut arah pandang Joong pada meja dimana Phuwin dan Dunk makan bersama, wajahnya sendu "dia masih tak mau bicara padamu..."

"Aku berhenti mencoba"

"Joong..."

"Humm?"

Sang sahabat menatap wajahnya serius, mereka terdiam selang beberapa detik "kupikir kau hanya bajingan dan bodoh" tawa Pond mengudara, matanya menyipit "tak kusangka kau juga pengecut..."

"Aku menghargai keputusan Dunk..."

"Ohh iya satu lagi, kau ini sok tau.."

Dia menyergitkan dahi, berakhir Pond meninggalkannya dengan menenteng mangkok dari atas meja. Agak kebingungan sebenarnya, tapi takdir sebercanda itu memainkan perasaannya. Lagi-lagi saat berusaha menggapai sesuatu dia akan didorong untuk mundur, dan setelah mundur dia akan ditarik kembali agar maju. Siapa yang tak gila?

"POND... APA MAKSUDMU?"

"IDIOT...."

Sahabatnya berteriak kesal meninggalkan kantin, semangkuk mie bengkak melayangkan kekecewaan berlapis untuknya. Didorongnya benda itu ke tengah meja, wajah tampannya nampak tak minat "apa aku mencoba lagi? Tapi bagaimana jika Dunk benar-benar pergi?"

.
.
.

"Dunk..."

Lelaki manis mundur beberapa langkah, dengan dua piring ditangannya.

"Dunk... Aku mohon, biarkan aku bicara sebentar"

Dia tak menjawab, lebih memilih untuk meletakkan benda yang dibawanya di atas etalase kantin. Matanya mengedar tak nyaman, lalu membalikkan badan hingga lengannya ditahan begitu pelan. Hanya sentuhan tak berarti namun begitu kuat membuatnya tak bergerak, kegugupan nyata muncul di antara mereka.

"Dunk, sekali lagi..."

"Sekali lagi apa Joong?" Cicitnya pelan, hampir terdengar berbisik

"Biarkan aku memperbaiki kesalahan ku"

"Kesalahan yang mana?"

Joong terdiam dengan wajah bingung, menepikan segala perasaan bersalah dan memilih untuk berfikir keras.

"Apa kau bahkan tau di bagian mana saja kau bersalah Joong?" Mata cantiknya begitu sedih tanpa memuja "bagian mana Joong? Saat kau memaksaku berhenti mencintaimu karena kau belum bisa melupakan Nine? Ataukah saat kau mencoba memulai hubungan denganku hanya demi bisa melupakan Nine?"

"Dunk.." tangannya hendak meraih lengan si manis, namun lebih dulu matanya ditatap dengan ratapan yang tak berujung.

"Katakan padaku bagian mana yang akan jadi alasan permintaan maaf mu? Saat kau berusaha menyentuhku namun menghayalkan Nine? Atau saat kau berusaha menyelamatkan Nine dan meninggalkanku sendirian?"

Gairah luar biasanya membuat nada bicara Dunk bergetar, Joong menggigit bibirnya menahan ucapan ampun. Wajah manis yang begitu sendu bertopeng batu, sehebat itu Dunk menahan segala kesakitan yang di goreskannya dalam hubungan mereka. "Segalanya, aku meminta maaf atas segalanya..."

"Aku memaafkanmu, tapi jangan pernah muncul lagi di hadapanku" retakan sebesar ini tak akan membuatnya rapuh untuk kedua kali, hilang saja dalam kegelapan. Meski harus tersaruk menyedihkan menahan perasaan, kegundahan yang menenggelamkan. Dia tak peduli lagi, rasa percayanya yang memuncak menembus awan terhempas didalam tanah begitu dalam. Kepastian akan takdir dia mencoba memulai telah berubah menjadi dendam, wajah manisnya tegas "jika mau... Hanya jika kau mau, pergi dari hadapanku. Dan jangan pernah berani memunculkan dirimu lagi, itu sudah cukup untuk mendapatkan maafku"

Sepenuhnya belum bisa dicerna dengan baik, lelaki manis itu sudah melangkah pergi tanpa kata perpisahan lagi. Apakah Joong harus mengerti sampai disini? Benar-benar sampai disini saja?

Dia menunduk dengan helaan nafas panjang, dadanya bergemuruh meminta pengampunan. Sedangkan Dunk terlihat sangat muak dengannya, gila sekali jika harus memaksa.

"Dia benar-benar menyuruhku menghilang, pengecut... Joong kau benar-benar pengecut..." air menggenang di pelupuk mata, sisi lembut Dunk ternyata begitu spesial namun tak pernah menjadi penghargaan penting untuknya.

Terlalu terlambat, dia kehabisan waktu menyadari betapa lelaki manis itu berharga untuknya. Definisi penyesalan datang terakhir, mungkin seperti itulah kesialan yang kini menimpanya.

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa tinggalin jejak kak, maaf masih berantakan, makasih udh mampir 🙏🏻



My Sweet Heart [Joongdunk]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang