17

1.4K 126 30
                                    

Didepan jendela kamar, Dunk mengusap wajahnya dengan malas. Dia memandang keluar mengamati sosok lelaki tampan berjalan mendekati pintu rumah, dengan senyum tipis dia menghela nafas panjang menetralkan suasana hati.

Langkah kakinya buru-buru menuju ke arah dapur, disana semuanya tertata rapi. Dunk menyeduh teh hangat, menyambut kedatangan sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya.

"Dunk..."

Dia menatap bertanya, menyuguhkan secangkir teh di atas meja ruangan. "Kenapa?"

"Maaf, tadi aku ada urusan sebentar diluar. Aku meninggalkan kampus dan tidak sempat mengabari mu"

Dalam kebingungan, Dunk hanya diam menatap cangkir.

"Maafkan aku, apa tadi kau ke lapangan basket untuk mencari ku?"

Dia menggeleng, raut wajah kekasihnya sangat lelah. Merasa bersalah seketika, hatinya berdenyut sakit. Entahlah, tak tau pasti apa yang dia pikirkan. Tak tau jelas apa yang masih dia harapkan setelah melihat Joong bertemu dengan mantan kekasihnya, kadang dia merasa gagal. Namun kadang dia merasa sangat sayang untuk mundur, biar saja begini diam dan terkurung dalam pikiran buruk.

Tak masalah, selama Joong tak pergi darinya. "Ayo minum teh nya, kau terlihat sangat letih"

Joong mengangguk kecil, lelakinya duduk tanpa sepatah katapun. Rasa takutnya jelas masih ada, namun perasaannya tak boleh lemah.

Dilihatnya lelaki itu mulai meminum teh dalam suasana hening, Dunk tak bisa memulai pembicaraan. Dan sang kekasih nampak sibuk dengan fikirannya sendiri, lebih tepatnya tak ingin terlalu ikut campur. Dia terdiam cukup lama, mengusap lembutnya sofa merasakan deru nafas masing-masing.

"Dunk..."

"Humm?" Tatapannya begitu perhatian, berusaha mencari celah agar Joong menceritakan segalanya.

"Aku akan pergi ke Hua Hin besok pagi, ada beberapa kunjungan di fakultas ku"

Dunk mengangguk dengan guratan wajah kecewa, sungguh dia tak berusaha membuat kekasihnya mengerti. Tak mungkin Mencerca lelaki itu dengan berbagai pertanyaan tak penting, kini dia merasa waspada dengan ancaman yang tidak dapat dimengerti.

Kekacauan yang kau bawa, membuat keberanianku hilang. Seketika, semua menjadi tak berarti lagi.

Dunk menghela nafas, mengusap bahu kekasihnya penuh perhatian. Senyum manis itu terus bertengger di wajah cantik, dia pandai berbohong tentang kehancuran hatinya. "Jangan terlalu lelah, jangan lupa kabari aku jika sudah sampai di Hua Hin"

.
.
.
.
.

"Dia memiliki kekasih, itu yang kulihat dari beberapa kegiatan Phuwin dari media sosial setahun yang lalu"

Nine mengangguk paham, menyela tangan pria dihadapannya seolah ingin mengatakan sesuatu. "Apa dia menggemaskan?"

"Entahlah, yang kulihat dia sangat cantik"

Dia bisa mendengarkan lelaki itu mengunyah, mendengar suara isapan pelan saat air putih terteguk tandas diatas meja. Mereka menatap dalam diam, hingga Nine menghela nafas tak bisa menyembunyikan kegundahan hatinya.

"Kalian? Kembali menjadi kekasih?"

"Sepertinya tidak..."

"Sebenarnya, yang kulihat yah. Dia masih mencintaimu"

"Tidak mudah menyimpulkannya Rain, aku merasa dia berusaha menyingkirkan ku" suaranya hampir seperti keputusasaan.

"Entahlah, kulihat beberapa tahun terakhir dia menghindari acara reuni. Dan saat aku bertanya pada Phuwin, dia bilang Joong kesusahan jika melihat wajah kami. Itu melukai perasaannya, karena merindukanmu"

Situasi berubah menjadi lebih tenang, Nine tak bisa menapik segala kesakitan yang timbul akibat perpisahan mereka. Kedatangan orang baru dalam hidup Joong bagai anugerah yang pasti telah lama di nantikan lelaki itu, kesimpulannya dia kembali tanpa alasan.

Joong yang dikenalnya telah berubah, entah bagaimana menjadi semakin keras. Seolah tak bersedia lagi merangkai kisah mereka, Joong hanya berusaha melindungi keselamatannya. Tanpa embel-embel cinta dan perasaan, lelaki itu nampak lebih khawatir dengan perlakuan nekadnya.

"Apa menurutmu aku bisa membuat Joong mencintaiku kembali?"

"may be, butuh sedikit sentuhan yang membuatnya rindu. Ayolah, kalian sudah lama bersama. Omong kosong jika dia tak merindukanmu Nine, yang kutahu kau adalah segalanya bagi Joong"

"Aku akan mencobanya, aku berharap dia tak menyiksa hatinya sendiri. Mengapa begitu keras kepala menahan diri, aku ikut frustasi" Nine mengedarkan pandangannya ke segala arah "Rain, aku harus kembali ke apartemenku. Sampai jumpa lain kali, besok aku dan Joong akan menginap di sebuah resort pantai"

"Ha? Pantai? Apakah Kekasihnya tidak tau?"

.
.
.
.
.

"Kunjungan macam apa sih?" Phuwin memukul setir mobilnya frustasi, sejak tadi menelfon Pond kekasihnya. Tak kunjung mendapat penjelasan, hanya pembicara omong kosong berputar-putar. "Sudah, nanti kita bertemu di kampus. Aku membawa Dunk bersamaku"

"Phu, apa Pond tak ikut kunjungan?"

"Kunjungan apa? Jelas-jelas Pond kebingungan waktu aku menceritakan ini"

"Mungkin, hanya Joong saja yah yang pergi?"

"Tak masuk akal" Phuwin menghela nafas, memutar setir mobil di pembelokan. "Kemarin kalian membicarakan apa saja?"

"Dia hanya bilang, ada kunjungan penting di Hua Hin"

"Aku akan menelfon nya" Phuwin menyela, namun Dunk menahan tangannya dengan tatapan tenang.

"Phu, benar-benar. Kurasa aku harus mengerti" dia melempar senyum dengan tangan terkepal "sudah yah, jangan diperpanjang"

"Tidak" suara Phuwin begitu tegas "aku tidak terima"

Mobil berhenti di tepi jalan, Phuwin tak berhenti memaki. "Sial, dia tak mengangkat panggilanku"

"Menunggu Joong pulang, kemudian kita akan bicara padanya" suaranya bernada cemas, namun sekali lagi berusaha membuat Phuwin tetap tenang.

Sahabatnya menyandarkan kepala di setir mobil, nampak antusias dengan keyboard ponsel mengirimkan beberapa pesan pada seseorang. Entah itu siapa, Dunk tak tau pasti. Phuwin nampak gelisah sekarang, sesekali mencondongkan tubuhnya ke depan dan bersandar di kursi pengemudi.

Dunk hanya diam, merasa usahanya tak membuahkan hasil. Pandangannya tidak yakin, ketakutannya terjawab saat Phuwin memukul setir dengan kuat.

"Brengsek..."

"Phu-

-diam" Phuwin menatap matanya secara langsung, seolah dia telah menyakiti sahabatnya tak manusiawi. "Apa kau tau tentang ini?"

Dia tak berkutik, menunggu pembicaraan dilanjutkan.

"Maafkan aku Dunk, seharusnya dari awal aku tak memberikannya kesempatan"

"Hei... Aku sudah mencicipi semua kebahagiaan itu, kau tak perlu merasa bersalah" dia tersenyum lembut dan mengusap air matanya "apa yang terjadi? Itu benar-benar Nine?"

"Apa sekarang itu penting? Kebahagiaan apa yang kau maksud? Kau hanya terus-terusan terluka"

"Aku tidak memulai hubungan untuk saling menyalahkan"

Phuwin meronta tak terima, tangannya berkali-kali memukul setir mobil dengan nafas tercekat. "Kau mungkin terima semua perlakuannya, tapi aku tidak. Aku akan membunuh mereka" dia berkata tajam, seolah kesakitan sang sahabat berimbas penuh pada dirinya.

"Jangan bersikap bodoh, disini kita bahkan tau. Nine lebih dulu, dan sejak aku menjadi kekasih Joong pun aku tau. Dia hanya mencintai mantan kekasihnya, bukan aku..."

"Aku jadi ingin menamparmu" Phuwin tertawa hambar, air matanya tak bisa berbohong tentang kekecewaan

"Serahkan situasi ini sepenuhnya padaku"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Maaf untuk segala kesalahan dalam penulisan🙏🏻, soalnya kadang cerita satu sama cerita yg lain bertabrakan gtu. Kadang salah namanya, dan karakternya. Maaf sekali lagi🙏🏻




My Sweet Heart [Joongdunk]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang