30

1.5K 114 10
                                    

"selamat pagi" Dunk menatap sahabatnya berwajah riang masuk di pintu kelas, sedikit memiringkan kepala dengan tujuan melihat sosok yang baru saja datang bersama Phuwin. "Apa itu, Pond?"

"Humm, Pond terlalu berlebihan mengantarkan ku sampai kedalam kelas"

Lelaki tegap itu hanya senyum kecil dan melambai padanya dan Phuwin, berangsur menghilang di ambang pintu. Kesedihannya kembali, hati itu tak kunjung lega.

"Ada apa Dunk?" Phuwin menatap sang sahabat, Mata lentik itu meredup "apa ada sesuatu yang salah?"

Dia bungkam, entah apa lagi yang harus dia katakan. Pastinya Phuwin tak akan senang jika dia berusaha membahas tentang Joong lagi, mereka telah berjanji untuk mengakhiri segalanya tanpa jejak apapun.

Apa dia akan terlihat lemah dan menjadi pecundang? Sekarang hatinya kalut dan khawatir. Dimana Joong sekarang? Pertemuan tadi malam benarkah menjadi yang terakhir?

"Aku belum bisa memberikan apapun, aku akan menebus kesalahanku dengan cara meninggalkan kehidupanmu Dunk. Dew berhak mendapatkan segala ketulusan mu, dia jauh lebih pantas"

Ungkapan pahit yang jelas didengarkannya penuh penderitaan, apakah egonya terlalu besar?

Menyampingkan perasaan demi logika dan realitas penuh atas pendirian, kini dia runtuh. Ego menghancurkan segalanya, tak ada harapan lagi yang tersisa.

"Malam ini, aku dan Pond berencana keluar. Apa kau dan Dew ingin ikut?"

Dunk mengangguk pelan, tak ada sedikitpun insting Phuwin tentang kekhawatirannya. Curi-curi pandang sesekali, si manis menatap wajah sang sahabat yang biasa.

"Setelah absen aku akan minta izin keluar sebentar"

"Kau mau kemana Dunk?"

Tangannya bersembunyi dibawah meja, menetralkan suasana khawatir hingga matanya memejam "perutku sakit..."

"Bagaimana jika pulang saja? Aku akan mengantarmu..."

"Tidak masalah, aku hanya butuh buang air saja"

Akhirnya Phuwin mengangguk, selang beberapa saat dosen memasuki ruangan. Sempat absen beberapa daftar nama tersebutkan, Dunk meminta izin sebentar. Ada kekhwatiran dari wajah sahabatnya, dia melambai pelan menghilang di ambang pintu.

Koridor gedung itu cukup luas, butuh sedikit tenaga menuju ke gedung lain. Trem sempat singgah di depan fakultasnya, Dunk buru-buru naik dengan kumpulan mahasiswa lain. Raut wajahnya jelas sangat khawatir, beberapa tempat terlewati.

Mahasiswa mengantri turun dari Trem, sedikit memiringkan badan dia meringsak keluar dari antrian sangat cepat. Laju langkahnya tak terduga, satu tangan menutup mulut dengan hati-hati masuk dalam gedung fakultas olahraga. Matanya lurus kedepan, tak peduli sekeliling hingga sebuah tangan menariknya resah. Dia berjengit dengan wajah memerah, matanya berair hebat.

"Dunk? Apa yang kau lakukan disini?" Suara yang tak asing, jelas itu adalah Pond. "Bukankah kau ada kelas? Dimana Phuwin?"

"Joong..." Suaranya pelan bergetar, Dunk menggigit tangannya berusaha meredam kekhawatiran

Parahnya, Pond tak berkutik. Mereka termangu dalam pikiran kalut tak berujung, bahkan Pond nampak tak tega melihat wajahnya. Bukankah ini menjadi semakin gila? Dunk menggeleng cepat.

"Apa yang terjadi? Joong benar-benar pergi..."

"Dunk, tenangkan dirimu yah..."

"Dimana Joong?"

"Tenang dulu yah, kupikir semuanya sudah selesai" Pond menggigit bibir, segala kenyataan terungkap membuka luka lebar.

Keduanya menatap lama, menerka kesakitan sedalam apa. Pond tak pernah menyangka, Dunk masih disana berdiri menggenggam rasa untuk sahabatnya. Mereka melemparkan tawa bahagia namun sembunyi-sembunyi menutup luka, jadi selama ini hubungan lelaki manis itu bersama Dew apa?

"Dimana Joong? Apa dia benar-benar pergi?"

Air mata jatuh satu persatu dari matanya, lelaki tegap tak sekuat belakangan ini. Pond meremas bahu Dunk dengan raut wajah yang sama hancurnya, mereka telah bodoh menyembunyikan kejanggalan dalam tawa.

"Katakan padaku, apa kau masih mencintai sahabatku Dunk?"

"Aku mencintainya Pond, aku tak pernah berhenti..."

Lelaki tegap itu meneguk saliva, sangka segalanya berakhir sesuai keinginan Dunk. Namun nyatanya mereka membuat perkara baru semakin rumit, matanya memanas lagi dan lagi hanya bisa menangisi kenyataan.

"Apa yang akan kau lakukan sekarang? Bagaimana dengan Dew?"

"Katakan padaku dulu, dimana Joong?"

"Dia pergi Dunk, penerbangannya jam 3 pagi. Hanya aku yang mengantarnya ke bandara, bahkan Phuwin tak mau lagi melihatnya..."

Dunk terhenyak, nafasnya tercekat. Dengan satu tangan bersandar di dinding khayalannya terbang jauh. Phuwin begitu sayang padanya, selalu berusaha menjauhkan Joong darinya. Ini keterlaluan jika sang sahabat sampai hari ini masih enggan memaafkan Joong hanya karena Dunk, posisinya terlihat sangat tolol sekarang.

"Dia kemana?"

"Pertimbangkan ini dengan baik, pikirkan apa yang seharusnya kau lakukan. Di Satu sisi aku benar-benar mengharapkan Joong bisa kembali bersamamu, tapi disisi lain Dew layak mendapatkan kejelasan. Mereka berdua mencintai Dunk, tak ada yang benar-benar membuat kesalahan. Kalian hanya terjebak"

Dalam skenario takdir gila dari semesta, kini wajah tampan yang begitu dicintainya perlahan menghilang dari ingatan. Sosok lelaki lain menjuntaikan harapan dan perlindungan sama pentingnya, Dew berperan besar.

"Pond.. aku akan pulang cepat hari ini, aku mohon sampaikan pada Phuwin aku tak bisa keluar malam ini..."

.
.
.
.
.

"Mau buah?"

Phuwin menggeleng, menjatuhkan dirinya di atas sofa panjang. Jarum jam terus berdetak, di ujung ruangan bunga menjuntai tinggi hampir menutup jalan ke ruang makan. "Mommy, bunganya sudah mulai panjang.."

"Humm, besok Joong akan mengganti airnya dan memangkas..."

Phuwin menyergitkan dahi, berangsur lelaki manis itu menghela nafas dan menatap Mix yang menyuguhkan sepiring buah di atas meja.

"Anakmu sudah pergi, apa kau tak ingat?"

Mix tertawa hambar, menjumput satu potong buah dengan miris "dulu dia terluka karena ditinggalkan, kurasa sekarang dia berusaha melakukan kebalikannya"

"Untuk apa Dunk terluka? Dia yang jahat" Phuwin bersungut, menenggelamkan wajah diatas permukaan bantal sofa

"Ayolah nak, jika kau melihat kakakmu tak berhenti menangis semalaman kau akan ikut terluka" suara Mix merendah, tak ada lagi rasa manis dalam potongan buah yang dikunyah. "Dia benar-benar mencintai Dunk, terakhir kali Nine meninggalkannya dia tak pernah menangis dalam pangkuanku"

"Aku melihatnya..." Cicit Phuwin pelan, matanya berair hebat "aku tau Joong benar-benar mencintai sahabatku, tapi Dunk terus-terusan terluka. Aku sendiri Bingung, tapi kadang saat mengingat Dunk berjuang sendirian untuk hubungan mereka, aku akan lebih menangis untuk Dunk."

Waktu yang tak tepat, kesialan di depan mata. Saat dimana Joong telah sadar penuh akan hatinya, dia telah membuat malaikat manis terluka. Di ujung kesabaran hari itu, Dunk masih memeluk Phuwin dan mengutarakan harapannya.

"Dia memeluk perutku, anakku yang malang... Biarkan dia tenang sementara waktu, Dunk pantas melakukan itu untuknya."

"Yah... Dia pantas mendapatkannya"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa tinggalin jejak kak, maaf masih berantakan, makasih udh mampir 🙏🏻

My Sweet Heart [Joongdunk]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang