Keheningan panjang di tepi jalan, lelaki manis terduduk diam di atas kursi halte. Sesekali tangannya menjumput kudapan didalam kemasan snack, berbentuk kecil dan bulat di antara jari dan jempolnya meninggalkan bekas.
Bus yang sejak tadi di tungguinya telah tiba, langkah kaki si manis menaiki tangga bus tiba di kursi pertama. Matanya menatap keluar jendela, suasana malam mulai larut. Penumpang bus cukup sepi, dan dia agak lelah baru pulang dari fakultas olahraga mengurusi beberapa peralatan basket.
"Inikah yang ditakutkan orang-orang saat jatuh cinta?"
Berasa ingin melarikan diri dari kenyataan, namun rasanya akan membuat hatinya ingin mati. Dunk tak masalah perihal perasaan, dia merasa ini hanyalah salah satu persimpangan kecil di hidupnya dan semua orang memiliki itu. Hubungan yang bahkan tak jelas mengarah ke mana, alih-alih saling menautkan hati dia justru merasakannya sendirian, meminta tanggung jawab? Sial, mereka bahkan pertama kali melakukan sex karena keinginannya sendiri.
Entah harus menghabiskan tahun-tahun yang panjang dalam penantian, dia memilih menetap dibanding harus berlari dari kenyataan.
Saat bus tiba di halte dekat rumahnya, lelaki itu buru-buru keluar dari sana. Melenggang dengan nyaman sembari membenam kedua tangan di kantong jaket, tiba-tiba saja handphonenya bergetar. Itu Phuwin,
"Dunk...
"Ada apa Phu?"
"Kau dimana?"
"Aku ada dirumah, Kenapa?"
"Sial... Pembohong"
Phuwin mematikan panggilan, segera lelaki manis berlari cepat menunju rumah. Cahaya lampu jalan menerangi, dia terengah sampai didepan pintu. Dan benar saja sang sahabat ada disana, dengan lengan Phuwin yang memeluk leher Dunk.
"Kau dari mana sayang?"
"Membeli snack, maaf yah..."
"Humm, aku mau menginap disini."
Dunk mengangguk, dia bersegera membuka pintu rumah. Keduanya jalan beriringan ke kamar Dunk, hening tak ada suara dari Phuwin. Nampaknya lelaki itu sedikit mabuk, karena Dunk sempat mencium aroma alkohol yang menyengat di teras rumah tadi.
"Sial... Kepalaku jadi pening, ini karena Pond terlalu bersemangat mengajakku minum. Besok ada kelas padahal"
Dunk tertawa. "Kalian dua puluh empat jam bersama, seperti pasangan yang sudah menikah" katanya mengolok
"Ckk, seharusnya tadi kau datang waktu aku mengajakmu"
"Aku lebih suka tidur"
Phuwin mengangguk, melihat jendela dengan pemandangan awan gelap malam hari. Beberapa lembar sticky note tepat di atas meja belajar, dan dinding putih penuh tempelan lainnya nampak seperti jadwal.
"Tadi, saat kami minum-minum Joong juga ikut, akan lebih seru jika kita berempat"
Dunk menyorongkan dagunya ke atas meja belajar, nampak berpikir sekilas kemudian mengangguk mengerti. "Seharusnya mereka tak mengajakmu minum jam segini, lalu dimana Pond sekarang?"
"Dia pulang ke rumahnya" Phuwin bangun dari ranjang, dia menghela nafas gusar. "Aku mau cuci muka, pinjam pencuci muka milikmu yah"
"Baiklah, pakai saja"
Dunk memainkan polpen di jemarinya, dia tersenyum kecil. "Kau terlalu ceroboh, jika seandainya aku tak membereskan tugasmu. Siapa yang akan bertanggung jawab dengan ruangan latihan yang se-berantakan itu?"
.
.
.
.
.Terasa angin mengilir memasuki jendela kamar, sinar matahari mengenai wajah lelaki tegap yang kini terlihat pucat. Tangannya mencengkram pinggiran ranjang, masih setengah sadar. Joong menjutaikan kaki di sana, mengusak mata kemudian menguap lebar.
"Aku ada kelas" ujarnya mulai berjalan menyambar handuk di layangkan ke bahu, kemudian membuka pintu kamar mandi. "Sial..."
Wajahnya memerah seketika, panik. "Aku belum membereskan ruangan basket, akhhh... Sial"
Terlalu cepat, dia masuk kamar mandi membasuh tubuhnya tak karuan hingga menyikat gigi buru-buru. Ini kabar buruk, hari ini seharusnya dia yang bertugas membereskan ruang latihan. "Senior akan marah besar, gegabah..."
Dengan satu tangan terentang, dia mulai mengusap seluruh tubuh agar cepat kering dan memakai seragam. Wajahnya memandang keluar jendela, matahari meninggi. Dia merasa hilang kendali, mengambil kunci mobil dan tersaruk-saruk menuruni anak tangga.
"Joong, kau tak sarapan?"
Angin tak bisa berhenti berputar dari kepalanya, hanya bisa menggeleng kemudian melesat ke garasi. "Sial... Aku dalam masalah, apa mungkin anak-anak sudah bergabung di lapangan?"
Sebagian dari keberaniannya ciut, akhh... Ini karena semalam Pond dan Phuwin mengajaknya minum. Jadilah dia bangun kesiangan dan bahkan tak sempat membereskan ruang latihan sepulang dari fakultas semalam.
Sesampainya di fakultas, dia mulai meninggalkan kawasan parkir buru-buru. Serasa jalan terbuka lebar, dia jadi pemanasan mendadak pagi ini dengan berlari laju. Cahaya matahari terus menyeruak di kawasan lapangan dia mulai menengok satu persatu mahasiswa keluar dari ruang latihan menenteng beberapa bola basket, nampak ada yang aneh.
Joong menyusuri ruangan itu cego, tak ada yang tak beraturan sedikitpun. Semua tertata rapi mulai dari bola dan papan skor yang menumpuk dibersihkan, dia jadi speechless.
"Woahh... Kerja bagus Joong, kau pintar membereskan ternyata"
"Tapi, Phi....
"Kau yang bertugas membereskan ruang latihan kan semalam?"
Dia mengangguk saja, meski dia sendiri kebingungan. Langkahnya gontai memasuki ruang ganti, pemanasan sebentar dan nanti ada kelas kedua Ilmu keolahragaan. Matanya mengamati suplemen yang sama sejak beberapa hari terakhir menghiasi tempat kosong di atas lokernya, tatapan menyelidik ke sekitar perasaan lelaki itu jadi tak karuan.
"Kurasa dia juga yang membereskan ruang latihan" sepatah kata tak akan didengar oleh seseorang, dia hanya berbisik pelan. Wajahnya cukup kesal, dan dia sendiri tak berniat memiliki seorang pengintai seperti ini.
.
.
.
.
."Apa yang kau lakukan disini?" Dunk terkesiap, wajahnya pucat seketika. Dia hendak berlalu namun lebih dulu lelaki itu menarik lengannya, itu salah satu mahasiswa. "Kau mengawasi seseorang yah?, Siapa?"
"Aww... Lepaskan aku"
Dew tertawa renyah, tak seorangpun tertangkap olehnya sedang ada di tengah lapangan. Mahasiswa berkumpul di sisi lapangan, entah membahas apa Dew tau mereka sedang berdiskusi. "Hey... Ayo katakan, siapa yang kau taksir?"
"Kau siapa sih?, Lepaskan tanganku"
"Aku ada di jurusan ini, hahah... Kau manis sekali"
"Sial.. lepaskan aku" Dunk menggumam sangat kesal, matanya menatap tajam "aku ada kelas, cepat lepaskan aku"
"Aku sering melihatmu di tribun, bersama kekasihnya Pond. Tak kusangka semanis ini jika dilihat dari dekat"
Dunk semakin kesal, dia menghentakkan sekuat tenaga tangan lelaki tinggi itu. "Sial... Jangan katakan apapun, dan jangan bilang pada siapapun aku kesini"
"Benar kan? Kau menyukai seseorang?, Atau jangan-jangan-
-diam Bangsat,"
"Aww... Wajah semanis ini memiliki mulut yang pedas, kau semakin menggemaskan"
Dunk membuang nafas, dia hendak melayangkan makian lagi. Namun ekspresi menggelikan dari wajah lelaki tinggi itu membuatnya tak bisa bernafas, tak habis pikir lagi. "Fuck you..."
"Fuck you too, baby..."
Apa ini? Dia baru saja berencana melihat Joong dari kejauhan, tapi lebih dulu lelaki tadi menghancurkan segalanya. Tak ada senyum manis yang terbit kala melihat Joong meminum suplemen darinya, yang ada hanya kekacauan dan celoteh menjengkelkan dari lelaki tadi. "Akhh... Sial..."
.
.
.
.
.
.
.To be continued
(ON HIATUS)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Heart [Joongdunk]18+[END]
Fiksi Penggemar"Jangan menangis, mari kita belajar lagi" Joong tak bergerak sama sekali, dia menghela nafas panjang menatap langit buram. "Bagaimana jika aku gagal lagi, Dunk?" "Maka kita akan memulai lagi segalanya dari awal, setidaknya kita masih punya keyakinan...