"mungkin saja, kita ditakdirkan saling mencintai setelah tak bersama"
Joong menumpu kepalanya di atas meja, matanya redup seredup-redupnya. Ada semacam luka lebar mengganjal dalam hatinya, dia menjatuhkan tangan dari meja berayun-ayun. "Dunk..." Suara pelan, begitu persuasif. Tangannya berusaha menggapai bingkai foto di ujung meja, menyimpan kenangan berharga bersama lelaki manis kesayangannya "bahkan bingkai foto ini hanya untuk Dunk saja.." matanya berair hebat, suaranya bergetar menahan sesak "Dunk, aku jahat sekali kan?"
Kepalanya dipenuhi bayang-bayang perihal percakapan terakhir malam itu, saat Dunk sangat lembut melepaskan tangannya dan berasumsi bahwa hubungan mereka harus berakhir bahkan jika Joong sudah berhasil mencintainya.
"Lalu bagaimana denganku? Apa yang akan terjadi padaku selanjutnya?" Tangisannya tak tertahan, dagunya terangkat memandang foto itu. Sedikit gelengan kecil, seolah-olah mensugesti dirinya sendiri bahwa dia benar-benar tak sanggup.
Seorang lelaki manis yang setiap hari menggumamkan kata-kata manis pada dirinya, dengan sentuhan sayang yang berbeda. Tolong datanglah, dekap dirinya tanpa rasa gundah sedikitpun. Udara nampak menerpa kaca jendela kamar, jejak buram di permukaannya sangat jelas.
"Beberapa hal tidak seharusnya di pertanyakan, kadang kau harus paham bahwa orang yang kau cintai tak akan selamanya berada di sisimu hanya untuk mengerti dirimu terus-menerus"
"Beberapa hal harus diterima berakhir menjadi keyakinan" Joong menggigit bibir, dia menggantung kalimatnya dengan hati mencelos "dan aku mungkin harus terima bahwa Dunk telah memiliki pengganti yang lebih baik" berakhir menyelesaikan ungkapan hatinya dengan nada datar.
Perhatiannya kembali melayang pada sebingkai foto si manis yang terus terpajang, keharuan serta rasa syukur tak terelakkan.
Pernah merasakan kasih sayang, kepedulian hingga curahan cinta yang begitu banyak dari mantan kekasihnya adalah hal berharga yang tak akan pernah terlupakan. Setidaknya dia pernah mencicipi itu, setidaknya dia pernah merasakan hangat dalam pelukan diantara mereka.
Telah cukup, harus merasa cukup. Jika Dunk sudah mengatakan muak, maka dia harus berhenti. Secercah harapan tak ada artinya lagi, kotak berwarna coklat pastel di seretnya mendekat ke arah meja belajar. Jelas disana hatinya sangat berat untuk merelakan, namun dia tak perlu pengajaran. Telah mengerti sepenuhnya, sejauh apapun takdir meminta ini berakhir dia telah mengerti.
Laci meja dibukanya pelan, mengeluarkan seluruh polaroid yang pernah di abadikannya sepanjang berlibur hingga hari-hari penting yang terlewati bersama mantan kekasihnya. Pose manis hingga tingkah lucu terekam diatas lembaran-lembarannya, kesedihan tak berujung.
Dengan cepat dia membereskan segalanya, menyelesaikan kisah seutuhnya dengan harapan tak melukai siapapun. Dew pantas mendapatkan ketenangan menjalani hubungan bersama Dunk, dan dia wajib bersikap biasa untuk kenyamanan semua orang.
Jika suatu hari hanya sisa dirinya saja, maka dia yang akan jatuh sendirian. Tanpa menyeret siapapun, tanpa melibatkan siapapun. Kotak itu di dorong memasuki kolong meja, Joong tak bisa berkata apapun lagi.
"Joong..."
Suara adiknya terdengar dari luar pintu kamar, dia mengusap wajah kemudian berdehem pelan.
"Mommy menyuruhmu ke bawah, waktunya makan..."
"Aku akan menyusul..."
Derap langkah kepergian adiknya dari depan pintu terdengar, dengan wajah tertekuk Joong mendekati pintu kamar dan keluar dari ruangan itu. Tak sama dengan Phuwin yang semangat, langkah kakinya nyaris tak terdengar. Satu persatu anak tangga dilewatinya dengan kegundahan hati luar biasa, masih tak selesai. Pikiran buruk terus menerus menggerogoti otaknya. Pegangan tangan di anak tangga berhenti sampai di sana, dia berjalan lunglai dengan tatapan kosong tak minat sama sekali memasuki ruang makan.
Dia duduk tanpa ekspresi apapun, pandangannya lurus pada menu yang tersedia di atas permukaan meja.
"Tegakkan badanmu nak" Earth berkomentar, hingga sang anak menuruti ucapannya masih dengan raut wajah kosong.
"Kenapa kau terlihat kehilangan nyawa?" Mix ikut bertanya, menyendokkan beberapa lauk ke atas piring putra tampannya "apa ada masalah?"
Semua diam menyimaknya, namun Joong hanya menghela nafas panjang tanpa berkata apa-apa. Dia mulai memasukkan potongan telur dadar dalam mulut, mengunyahnya dan menatap lurus hingga dia membulatkan mata.
"Uhuk... Uhuk..." Earth memukul pelan bahu sang anak dan Mix menyodorkan air putih, dia kesusahan dan masih tak mengalihkan pandangan pada sosok manis di ujung meja. Matanya mengerjap dan sadar seketika, Dunk... Jelas tadi dia melihat Dunk. "Sepertinya aku hampir gila..."
"Kau kenapa? Hah?"
"Tidak apa-apa..." Gelengan pelan pertanda bahwa dia semakin tak beres, Joong menatap sekeliling dengan tak nyaman. Bahkan Phuwin asik saja mengunyah makanan, sedangkan dia tak kunjung tenang dengan halusinasi karena rasa rindunya.
"Yasudah, cepat makan makananmu..."
.
.
.
.
."Apa hari itu aku terlalu kasar?" Pulpen di ketuk-ketuk di atas meja, dalam keadaan suntuk Dunk terus menerus menghela nafas gusar.
Belakangan dia tak pernah berjumpa dengan Joong lagi, dimanapun. Bahkan saat dia pergi ke lapangan basket mencari Dew kekasihnya, dia tak pernah melihat kehadiran Joong disana.
Kadang penasaran sekali ingin bertanya pada Pond, tapi dia masih waras. Tak mungkin melukai hati Dew, dan tak mungkin juga terus memaksa untuk terlibat dengan mantan kekasihnya. Dia pernah mengalami hal yang sama, dan dia tak mungkin setega itu membuat Dew merasakan kesakitan yang pernah dideritanya.
Cukup sudah untuk semua kisah dan perasaan di masa lalu, Joong telah selesai bersamanya. Mata lentik itu mengerjap, ada rindu yang tiba-tiba muncul tak terjelaskan. Segalanya masih abu-abu perihal perasaan, namun jika itu takdir telah jelas dia melepaskan Joong sepenuhnya.
Takdir dan perasaannya tidak memiliki titik temu yang sama, kadang dia berfikir untuk kembali. Namun jika ingat luka yang begitu perih diterimanya, dia memilih mundur dan kembali pada posisinya saat ini.
Dew memperlakukannya sangat baik, meski paham bahwa itu tak sama dengan cara Joong memperlakukannya. Ketulusan dan kehangatan mereka berbeda, sejatinya ungkapan itu benar. Bahwa seseorang hanya akan bahagia bersama orang yang mereka cintai, bukan orang yang mencintai mereka.
Dunk menekuk lutut diatas kursinya, menyandarkan dagu dan masih diselimuti rasa gundah luar biasa. Apakah adil jika Sekarang dia menjalani hubungan dengan Dew karena tujuan menghilangkan perasaan pada Joong? Lalu bagaimana jika perasaan ini tak bisa hilang?
Baru beberapa hari, terasa begitu lama. Nafasnya tercekat saat memikirkan sosok tegap yang tak pernah lagi muncul di hadapannya, kadang jengah dengan kekhawatirannya sendiri. Dia tak bisa membuktikan apapun, membuktikan bahwa dia sepenuhnya telah lepas dari kenangannya bersama Joong.
"Memang tak mudah..." Ungkapnya berdialog dengan diri sendiri, langkah kakinya terdengar begitu pelan membuka pintu kamar. Disaat yang sama, segalanya berhenti. "Aku baru tau, Ternyata cinta yang diberikan orang yang berbeda rasanya juga berbeda..."
Sial sekali bukan? Mencintai seseorang yang sudah sangat kau yakini untuk ditinggalkan. Dimana keadilan? Jika dirinya terus bersungut-sungut menjalani takdir percintaan.
.
.
.
.
.
.
.To be continued
Jangan lupa tinggalin jejak kak maaf masih berantakan makasih udh mampir 🙏🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Heart [Joongdunk]18+[END]
Фанфик"Jangan menangis, mari kita belajar lagi" Joong tak bergerak sama sekali, dia menghela nafas panjang menatap langit buram. "Bagaimana jika aku gagal lagi, Dunk?" "Maka kita akan memulai lagi segalanya dari awal, setidaknya kita masih punya keyakinan...