"Jelek sekali..."
Pond melempar boneka kelinci kembali ke atas rak, bola matanya memutar malas. "Ayolah sayang, pilih satu saja. Setidaknya kita membawa sesuatu yang istimewa kembali ke Thailand, atau yang ini?"
Phuwin menghela nafas, menggenggam leher kuda dan meremasnya kuat "mati saja kau jelek..."
Sang kekasih nampaknya sudah dongkol, terbukti kini lelaki tegap itu bersandar di tiang sembari menatapnya. "Lalu, apa yang harus kita bawa kembali?"
"Makanan saja, itu lebih berguna..."
"Tapi sayang, makanan akan habis. Mau beli pakaian saja? Sepertinya akan bagus"
Paris menyuguhkan banyak macam model produk bermerek, dari sudut hingga sudut tersuguhkan macam-macam fashion dengan kualitas memikat. Namun lelaki manis itu nampak enggan, lebih memilih untuk pergi dari toko mewah itu diikuti kekasihnya.
"Pond, aku lebih setuju kita mencari kelab malam"
"Sayang, kita kesini untuk liburan. Bukan membuat kesalahan.."
"Kesalahan apa sih?" Phuwin menyandarkan satu tangan di pundak sang kekasih, matanya menyipit "Joong dan Dunk pasti sudah saling berbicara, haruskah kita kembali?"
Pond mengangguk singkat, sudah cukup lama mereka berkeliling disekitaran menara Eiffel. Jemarinya memutar kunci mobil dalam genggaman, ada perasaan cemas. Sontak saat menaiki kendaraan keduanya tak berekspresi santai, bahkan saat Pond menyetir mobil, mereka bungkam sibuk menerka.
"Menurutmu, Joong dan Dunk baik-baik saja?"
Meski tak takin Pond mencoba mengangguk percaya diri, hingga sampai di kompleks perumahan lelaki tegap itu memutar setir di pembelokan. Dari sana sudah terlihat jelas pagar rumah milik Joong, mereka harap-harap cemas.
Phuwin yang lebih dulu keluar dari kendaraan, memastikan dengan teliti apa kiranya sedang terjadi di dalam rumah. Matanya menelisik jauh, sampai ketika bahunya di tepuk barulah mereka berdua memutuskan untuk masuk ke pekarangan.
Ketukan pelan begitu hati-hati, Phuwin melirik Pond yang juga khawatir. Bukan masalah percaya atau tidak, tapi ini cukup mengkhawatirkan. Satu tahun bukanlah waktu yang singkat, bagaimana cara mereka memulai pembicaraan?
Bagaimana cara mereka menyampaikan rasa rindu? Pond dan Phuwin menghela nafas panjang, hingga pintu rumah terbuka sosok tinggi tegap menatap keduanya dengan syok.
"Shia... Joong..." Phuwin duluan, menabrakkan tubuh kearah sang kakak. Rindunya terhempas, kelegaan penuh saat melihat sosok itu nampak baik-baik saja "hiks... Sialan, apa kau tak merindukanku?"
Tak ada jawaban, melainkan usapan lembut di rambutnya. Pond ikut tersenyum haru, dialah yang merasakan sakit mendengar cerita Phuwin tentang sang kakak. Begitu lama, kedua orang itu tak bertemu. Bahkan melepas rindu pun tak yakin bisa hilang hanya karena pelukan ringan, butuh momen panjang yang berharga menggantikan satu tahun kelam yang panjang.
"Pond terimakasih selalu menjaga adikku"
Dia mengangguk dengan senyum maklum, berangsur menepuk bahu sahabatnya. "Dia banyak menangis, kuharap setelah ini semuanya baik-baik saja"
"Dimana Dunk?" Tanya Phuwin mengusap wajah sembabnya, sedikit memberi jarak pada sang kakak matanya mencari-cari kedalam rumah
"Dia ada didalam, sedang tidur. Aku rasa Dunk sangat lelah"
Phuwin melenggang memasuki pintu, tanpa peduli lagi pada sang kakak bersama kekasihnya.
"Ya ampun, kau pasti rindu sekali yah."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Heart [Joongdunk]18+[END]
Fiksi Penggemar"Jangan menangis, mari kita belajar lagi" Joong tak bergerak sama sekali, dia menghela nafas panjang menatap langit buram. "Bagaimana jika aku gagal lagi, Dunk?" "Maka kita akan memulai lagi segalanya dari awal, setidaknya kita masih punya keyakinan...