19

1.4K 122 28
                                    

"Dunk, maafkan aku..." Suara parau terdengar sangat bersalah, Dunk tak mengatakan apapun. Hanya mengusap wajah pucat lelaki itu, matanya penuh kekhawatiran. "Maafkan aku..."

"Joong, tenangkan dirimu..."

Sebenarnya tak masuk akal, dia menyuruh lelaki itu tenang sementara dirinya sendiri sudah sangat panik. Semingguan lebih, batang hidung Joong bahkan tak pernah terlihat. Perlahan Dunk tersenyum, senyum dipaksakan.

"Aku pergi bersama Nine, kami menghabiskan waktu bersama-sama"

Dia sedikit kaget, Joong mengatakannya terlalu blak-blakan. Namun Dunk lebih suka percakapan jelas seperti ini, tak ber tarik-ulur tanpa tujuan. Cukup paham, anggukan kepala si manis mendaratkan kedua tangan di bahu Joong. "Lalu apa yang terjadi? Kenapa wajahmu terlihat tak sehat?"

"Aku memaksanya pulang ke orang tuanya, awalnya dia tak mau"

"Joong? Kenapa?"

Lelaki tegap menatap bingung, seolah dirinya tak dapat dimengerti dengan sigap menarik Dunk masuk dalam pelukannya "kenapa? Apa aku salah jika meminta Nine berhenti? Apa kau tak menginginkan ku kembali?"

Butuh waktu yang lama, dia tak berkutik. Hingga sebuah rasa bersalah melukai hatinya, tak pernah berharap serumit ini "Joong jika sudah tak ingin bersama Nine, harus menjelaskannya dengan baik" dia menyampaikan secara halus, untuk menunjukkan pendirian dan keyakinannya.

"Aku sudah menjelaskannya, aku hanya mencintai Dunk"

Suara gemuruh, langkah tak beraturan dari arah tangga membuat pelukan mereka terlepas. Dunk terlonjak kaget saat sahabatnya dengan tak manusiawi menarik kerah baju Joong dan membanting lelaki itu di lantai, dia memperhatikan. Mata yang dingin terus-menerus menaksir wajah kekasihnya lebih jauh, Phuwin menyeringai dan menekan leher Joong tanpa berkata apapun.

"Phuwin, sumpah... Apa yang kau lakukan?"

Nafas Joong tersengal-sengal, dia meringsak kakinya berusaha mundur dan menjauh. Dunk menahan lengan sahabatnya, sial.. lelaki manis itu sangat murka.

"Jangan injakkan kakimu disini, menjijikkan"

"Phu-

-DIAM SIALAN"

Joong mengatur nafas, mencoba berdiri tegak dan berpegangan di tembok. "Aku sama sekali tak niat pergi dengan Nine"

"Tolol, kau bilang tak niat? Satu minggu? Menghabiskan waktu bersama di sebuah resort? Hanya berdua? Tak niat?" Phuwin menyeringai, mengambil vas bunga di atas meja melemparkannya mentah-mentah ke arah Joong. "MATI SAJA SIALAN..."

Pecahan kaca bertebaran di atas lantai, Dunk meneguk Saliva nya dengan kasar. Beruntung Joong bisa menghindar dari lemparan itu, jika tidak... Akan ada tragedi besar di rumah ini.

"Phu, ayo tenangkan dirimu..."

"Sial.. kau juga" Dunk terhenyak, menatap bingung pada sahabatnya "entah disini siapa yang di bohongi, aku atau kau?"

"Phu...

"Kau ini bodoh atau terlalu baik, ayolah Dunk... Dulu kau tak seperti ini. Jangan karena lelaki brengsek itu, kau sama sekali tak memiliki perlawanan" Phuwin sudah muak, kembali menatap wajah bengis kakaknya "sial..."

Dunk bergerak kaku mendekati Phuwin, seolah-olah kesannya kini menegaskan kecurigaan pada sang sahabat. Takut-takut Phuwin tak bisa mengendalikan diri lagi, satu tangannya menepuk bahu lelaki itu "sudah yah, aku akan bicara pada Joong. Kau bisa percaya padaku"

"Ckkk, Joong sialan. Aku akan membunuhmu" dia melemparkan tatapan tajam, berangsur keluar dari ruang tengah mempersiapkan dirinya pergi dari rumah Dunk.

.
.
.
.
.

"Apa kau akan melepaskan Joong begitu saja?"

Nine terdiam, sontak hatinya begitu ngilu saat mendengar penuturan sahabatnya. Hal yang gila, dia sudah sangat yakin perihal perasaan Joong sebelum kembali dari Australia. Namun kenyataan yang pahit, sosok yang di cintainya telah melabuhkan hati pada orang lain.

"Ayolah Nine, kemarin Phuwin menghubungi ku"

"Phuwin?"

"Iya adik iparmu..." Rain nampak tertawa lucu, ada nada jenaka dalam ucapannya "apa aku salah?"

"Joong tak mencintaiku lagi..."

Sahabatnya mengangguk, menyentuh permukaan punggung tangannya "Nine, kau yakin? Selama kalian di resort apa saja yang kalian lakukan?"

"Tidak ada..." Dia berkata seadanya, bahwa semingguan penuh Joong bahkan tak pernah menyentuh lebih dari sekedar pelukan. Penuh dengan rasa frustasi, tekanan yang kuat memenuhi hatinya. Cukup sudah, saat itu dia telah menyerah akan ungkapan Joong yang mendorongnya mundur perlahan-lahan.

"Aww... Kau benar-benar kalah, datang membawa bendera peperangan namun tertolak di medan pertempuran tanpa memulai" Rain mengatupkan bibirnya, wajah lelaki itu nampak miris

"Rain, aku benar-benar sudah tersingkir"

"Kalian terpisah bertahun-tahun, kau menahan semuanya Nine. Yakin ingin menyerah begitu saja?"

"Maumu apa? Aku menangis dan memohon pada Joong untuk menerimaku kembali?"

Rain tertawa kencang, memukul meja dengan wajah antusias "apa dia sudah yakin dengan keputusannya?"

"Humm, kurasa begitu"

"Tenanglah, dia hanya anak kemarin sore. Joong bingung dengan hatinya, karena kau dengan dia sudah terpisah sangat lama. Aku akan membantumu, kita bicara pada Joong"

Ketegasan itu menjadi bumerang baginya, rasa terluka akan didapatkan lagi jika kekacauan ini terus berlanjut. "Apa aku mati saja yah?"

"Ahhh... Hei, ide yang bagus" Rain menjentikkan jarinya dengan semangat, menatap lelaki manis dan menaikkan satu alisnya "kemarikan ponselmu, berikan kontak Joong padaku"

.
.
.
.
.

"Tapi disana Joong tak melakukan apapun, sungguh..."

Dunk tersenyum kecil, sedari tadi panjang-lebar mendengarkan cerita dari kekasihnya. Joong tak kunjung merubah posisi, terus bersandar menyamankan kepala di perutnya.

"Dunk percaya pada Joong, kan?"

"Humm... Percaya..." Usapan lembut penuh pengertian, di sela-sela jemari menyisir rambut legam lelaki itu "jadi, Nine akan kembali ke orang tuanya?"

"Dia akhirnya sudah berjanji..."

Anggukan kecil diberikannya, penuh kepercayaan dan harapan baik yang tak pernah putus. Dunk tak menyalahkan posisi siapapun, perihal cinta yang sejak dulu di dirindukan kekasihnya pastilah sakit. Perihal Nine yang bahkan berjuang untuk kembali dan bertahan pasti jauh lebih menyakitkan, dia hanya menunggu keputusan. Dan sekarang Joong berlari kearahnya, meminta pelukan dan penerimaan penuh. Dunk bersedia atas segalanya, kesadaran penuh bahwa terkadang kita perlu merasakan takdir buruk untuk menyelamatkan takdir baik orang lain.

"Aku mengharapkan yang terbaik, jika Nine terima... Itu artinya dia benar-benar melepaskan Joong"

Berkali-kali tersungkur di waktu-waktu lampau membuatnya belajar, menghadapi segalanya dengan tenang berpegang penuh atas dasar kepercayaan. Semua pikiran tak masuk akal akan dia lenyapkan, dan Dunk sudah yakin.

"Joong mau Dunk saja" Joong bergerak gelisah, mengusak rambutnya di atas perut sang kekasih "Dunk... Maafkan Joong yah, seharusnya menjelaskannya sebelum pergi"

"Humm, tak apa. Joong pasti punya alasan, dan Joong pasti tak mau situasi semakin memburuk"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Maaf bnget, malam ini cuma bisa up satu chapter doang. Lagi ada kerjaan, jangan lupa tinggalin jejak yah kak, makasih udh mau mampir💛

My Sweet Heart [Joongdunk]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang