4 | Berbagi Tugas

1K 112 0
                                    

Dirga pun segera menekan tombol loudspeaker pada layar ponselnya, agar semua orang bisa mendengar mengenai kabar tersebut.


"Yang meninggal dunia tiga orang, Pak Dirga. Dua orang dari rumah Bu Yani, yaitu Pak Ahmad, Suaminya, dan Danang, anaknya. Lalu satu orang lainnya yang meninggal dari rumah Bu Lilis, yaitu Pak Ramzi, Suaminya," jelas Jana.

Rasyid kini menatap ke arah Ziva dan berharap bisa mendengar masukan atau apa pun yang menyangkut kabar barusan. Namun Ziva sendiri saat ini justru tampak seperti sedang berpikir sangat keras, setelah adanya berita kematian yang datang.

"Yang meninggal pertama kali adalah Kepala Keluarga dan juga ahli waris, alias anak. Hal itu membuat segalanya menjadi sangat jelas, bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dari sakitnya para korban," ujar Ziva, yang kemudian beralih menatap ke arah Alwan. "Dokter Alwan, apakah sudah mencoba melakukan USG pada bagian perut para korban sebelumnya?"

"Belum, Bu. Karena kemarin saat saya dibawa ke sana oleh Pak Dirga, sama sekali tidak terpikirkan bahwa USG juga dibutuhkan untuk memeriksa keadaan para korban," jawab Alwan, apa adanya.

"Kalau sekarang jelas bisa dilakukan, Dokter?" Ziva ingin memastikan.

"Insya Allah bisa, Bu. Hanya saja harus diambil dulu transducer-nya di tempat saya praktek."

"Ya, tentu. Nanti Dokter Alwan pergi saja dengan rekan kami yang bernama Mika ini, untuk mengambil transducer di tempat prakteknya Dokter. Dokter Alwan sudah tahu ke mana jalannya menuju rumah para korban, bukan? Jadi tidak masalah jika kita pergi secara terpisah?" tanya Tari.

"Iya, Bu Tari. Tentu saja saya tahu ke mana arahnya dan saya akan menuntun Pak Mika ke sana setelah kami mengambil transducer itu."

"Oke, kalau begitu sekarang mari kita membagi jadi dua grup. Grup pertama akan menuju ke Desa Cikijing dan grup kedua akan pergi bersama Dokter Alwan untuk mengambil transducer," saran Raja.

"Aku dan Rasyid akan ikut bersama kamu dan Ziva ke Desa Cikijing, Ja," ujar Tari.

"Dan aku akan ikut dengan Mika untuk mengantar Dokter Alwan mengambil transducer di tempat prakteknya," tambah Hani.

"Oke. Kalau begitu mari kita berangkat sekarang juga, agar tidak banyak waktu yang terbuang sia-sia," ajak Ziva, setuju dengan pembagian grup tersebut.

Zafran kini tampak kesal dan mulai tertawa sumbang di depan semua orang.

"Tidak ada yang menyebut nama saya sejak tadi. Apakah saya tidak akan dilibatkan?" tanya Zafran.

Rasyid menatap tajam ke arah Zafran usai mendengar pertanyaan tersebut. Rasyid benar-benar tidak suka dengan keberadaan Zafran setelah tadi laki-laki itu berusaha menggoda Tari. Jadi saat ini dirinya jelas tidak mau kalau sampai Zafran ada di antara mereka saat akan pergi ke Desa Cikijing.

"Anda bekerja di mana, Dokter Zafran?" tanya Ziva.

"Di RSUD Majalengka. Kenapa?" Zafran bertanya balik dengan nada sedikit kasar.

"Kalau begitu kembalilah ke RSUD Majalengka, Dokter Zafran. Bekerjalah di sana seperti biasanya. Kami tidak butuh dua orang Dokter saat ini. Jadi adanya Dokter Alwan sudah cukup untuk membantu kami. Lagi pula, aku tidak bisa bekerja dengan orang yang sejak awal sudah sangat berani bicara tidak sopan kepada Kakak iparku, pemimpin tim ini. Jadi jangan pernah bermimpi kalau aku akan memberikan jalan untuk anda agar bisa ikut bekerja bersama kami. Ingat itu baik-baik," tegas Ziva.

Dirga jelas tidak bisa melakukan apa-apa untuk membela Zafran di depan semua orang. Zafran jelas telah melakukan hal yang sangat tidak sopan terhadap Tari, jadi itu tidak akan bisa diterima oleh anggota timnya yang lain. Andai Tari belum memiliki suami sekalipun, tetap saja hal yang dilakukan oleh Zafran tidak akan bisa dianggap bercanda. Karena sejatinya pria yang baik tidak akan pernah mencoba untuk menggoda wanita baik-baik di depan umum dengan alasan apa pun.

Mereka kini meninggalkan Polres Majalengka setelah benar-benar membuat keputusan bahwa Zafran tidak akan dilibatkan. Mika mengambil arah yang berbeda dari mobil-mobil lainnya, karena saat itu dirinya harus mengantar Alwan untuk mengambil transducer.

"Jadi yang tadi itu ... mereka bersaudara? Maksud saya, Pak Rasyid dan Bu Ziva?" tanya Alwan.

"Iya, Dokter. Itu benar. Ziva adalah Adik sepupu Rasyid, sementara Tari adalah sahabat kami sebelum menikah dengan Rasyid. Jadi sudah jelas betapa dekatnya Ziva dan Tari, bukan? Maklumi saja kalau Ziva terlihat jauh lebih marah kepada Dokter Zafran daripada Rasyid. Tari memang sudah seperti Kakak sendiri bagi Ziva selama ini," jawab Mika, sambil tertawa pelan.

Alwan pun menganggukkan kepalanya, setelah mendapat jawaban dari Mika.

"Saya rasa sih wajar, Pak Mika, kalau sampai Pak Rasyid dan Bu Ziva semarah itu pada Dokter Zafran. Dari kemarin saya sudah agak merasa lain dengan sikapnya saat bertemu di Desa Cikijing. Orang jelas-jelas yang diperiksa sedang kesakitan, eh, malah dia ajak bercanda yang tidak jelas. Ketika dia dibentak oleh Suaminya Bu Lilis, baru dia pucat dan diam sampai pulang," ujar Alwan. "Eh ... maksud saya, Almarhum Suaminya Bu Lilis."

"Oh ... jadi kemarin juga ada kejadian seperti tadi, Dok? Lah, kok Pak Dirga tidak segera membatasi keberadaan Dokter Zafran, ya? Kok malah dia biarkan saja?" heran Hani.

"Karena Dokter Zafran adalah Dokter yang pertama kali dipanggil oleh Pak Dirga ketika keadaan para korban sedang kritis. Jadinya Pak Dirga merasa tidak enak jika harus membatasi ataupun menegur Dokter Zafran, Bu Hani. Tapi kalau masalah tadi, sudah jelas langsung Suami dan Adik iparnya Bu Tari yang melancarkan serangan kepada Dokter Zafran. Jadi, baru tadi Pak Dirga bisa menyingkirkan Dokter Zafran agar tidak lagi ikut dalam pengusutan kasus sakitnya para korban yang misterius itu," jelas Alwan, agar Hani tidak salah paham terhadap Dirga.

"Jadi sebenarnya Pak Dirga juga sudah muak dengan sikap Dokter Zafran, ya, tapi hanya tidak enak saja jika harus mengusirnya? Takut dibilang tidak tahu terima kasih, padahal sudah ditolong saat ada sesuatu yang mendesak," Mika menambahkan.

"Iya, Pak Mika. Benar, seperti itulah yang saya maksud."

Mobil milik Mika kini berbelok ke sebuah bangunan tiga lantai yang tak lain adalah tempat praktek Alwan. Bangunan itu masih tutup dan Hani maupun Mika bisa membaca pada papan yang tertera tentang jadwal praktek pria itu.

"Dokter buka praktek mulai jam empat sore, ya? Biasanya jam berapa tutupnya kalau mulai praktek jam empat, Dok?" tanya Mika.

"Terkadang jam sepuluh sudah tutup, jika sudah tidak ada pasien yang datang. Tapi kalau sedang ramai, biasanya saya baru tutup pukul setengah dua belas malam, Pak Mika," jawab Alwan, yang kemudian menunjukkan di mana letak transducer yang harus mereka bawa.

Mika dan Alwan pun segera bekerja sama mengangkat transducer tersebut keluar dari sana dan menyimpannya ke bagian belakang mobil milik Mika. Hani membantu membukakan pintu belakang mobil, lalu setelah itu mereka pun segera pergi lagi menuju ke Desa Cikijing.

* * *

TELUH RAMBUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang