"Ada yang datang, Ziv? Siapa? Bisa kamu lihat siapa orangnya?" tanya Tari.
"Ya, aku lihat siapa orangnya, Tar. Saat ini sedang aku bandingkan wajahnya dengan foto dari rekaman CCTV yang diberikan oleh Pak Dirga kepadaku" jawab Ziva."Tetap berhati-hati, Sayang. Kamu harus selalu waspada," ujar Raja, mengingatkan.
"Insya Allah aku akan selalu berhati-hati, Sayang. Fokus saja pada tugasmu saat ini. Jangan sampai pikiranmu terbagi dan menjadi kacau," saran Ziva.
Usai mendengar saran yang Ziva berikan, Raja pun segera mencoba membimbing Asep untuk bangun dan berbaring beberapa kali. Hal itu dilakukan oleh Raja untuk mengira-ngira sampai di mana Asep bisa bertahan sebelum ruqyah selanjutnya dilakukan. Ia tidak mau memaksakan, agar Asep tidak merasa tersiksa ketika dirinya melakukan ruqyah terhadap pria itu.
"Kamu tidak mau tanya lagi soal bagaimana awalnya sehingga saya bisa sakit?" tanya Asep secara tiba-tiba.
Wajah pria itu masih sepucat tadi saat Raja menatapnya. Namun Asep kini sudah bisa bercerita dengan cukup jelas, sehingga Raja bisa memahami ucapannya tanpa perlu membuatnya mengulang-ulang jawaban seperti tadi.
"Pak Asep sudah siap untuk menjawab? Apakah perut Pak Asep sudah mulai terasa jauh lebih baik daripada sebelumnya?" Raja ingin memastikan.
"Alhamdulillah sudah agak lebih baik daripada sebelumnya. Sakitnya masih terasa, tapi sudah tidak terasa menusuk seperti yang saya rasakan selama dua hari ke belakang."
"Alhamdulillah," ucap Raja, terdengar begitu lega. "Sekarang kalau Pak Asep memang mau menjawab pertanyaan tadi, silakan. Tapi jika sekiranya Pak Asep merasa lelah, maka sebaiknya Pak Asep beristirahat dulu. Jangan terlalu memaksakan diri."
Asep berupaya tersenyum, meski senyum itu sangatlah samar di wajahnya.
"Saya mau menceritakan semuanya. Karena sebenarnya sejak awal saya sudah ingin menceritakan hal ini pada Pak RT, tapi saya belum punya waktu karena harus bekerja. Sekarang, saya rasa sebaiknya kamu saja yang mendengarkan cerita saya. Kamu jelas akan mendengarkan dan tidak mungkin meragukan apa yang saya katakan, terutama karena kamu memang bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh manusia pada umumnya," ujar Asep.
Raja pun kemudian menganggukkan kepalanya, pertanda bahwa dirinya jelas akan mendengarkan apa pun yang Asep ceritakan kepadanya. Raja kini memberikan satu buah bantal pada bagian punggung Asep, agar Asep bisa bersandar dengan nyaman meski saat itu posisinya tidak benar-benar seperti sedang duduk.
"Awalnya saya kaget karena mendadak anak sulung dari pemilik lama rumah ini datang. Namanya Nandan. Dia bertamu ke sini bersama perempuan yang dia perkenalkan sebagai Istrinya. Saya pikir, dia mungkin cuma mau bertamu biasa, jadi saya menyambutnya seperti menyambut tamu pada umumnya. Saya minta mereka duduk di ruang tamu, lalu saya tinggalkan mereka ke dapur sebentar untuk membuat minuman. Saat saya kembali, mereka masih duduk di sofa seperti saat saya tinggalkan. Saya akhirnya duduk bersama mereka setelah menyajikan minuman, lalu mulailah Nandan bicara dengan saya soal keinginannya untuk membeli kembali rumah ini," jelas Asep.
"Dia mengatakan secara langsung soal keinginannya tersebut, Pak Asep? Tidak ada basa-basi lebih dulu?" tanya Raja.
"Tidak ada. Dia benar-benar mengatakan keinginannya itu secara langsung tanpa berbasa-basi. Nada bicaranya juga tidak sama dengan nada bicaranya saat pertama kali dia muncul di depan pagar rumah saya. Nada bicaranya saat itu sangatlah terkesan memaksa. Seakan dia benar-benar ingin saya segera menjual rumah ini lagi kepadanya, setelah dia mengutarakan keinginannya itu."
"Dan, apa tanggapan Pak Asep saat mendengar keinginannya tersebut?"
"Saya mengatakan dengan jujur sama Nandan, bahwa saya tidak pernah ada niatan mau menjual kembali rumah ini setelah saya membelinya dari kedua orangtua dia. Saya memang berniat tinggal di sini sampai kapan pun. Meski sampai saat ini saya masih juga belum menikah, tapi setidaknya saya merasa harus punya persiapan agar bisa memberi tempat tinggal pada orang yang akan saya nikahi nantinya. Jadi saya bilang padanya, bahwa saya tidak bisa menjual rumah ini kepadanya meskipun dia menawarkan harga yang sangat tinggi. Saya tetap bicara baik-baik padanya, meskipun lama-kelamaan dia mulai menaikkan nada bicaranya dan menjadi agak kasar. Saya pikir, kalau saya ikut bicara dengan nada tinggi maka akan terjadi pertengkaran di antara kami pada saat itu. Saya tidak suka ribut dengan seseorang, jadi saya tetap menanggapi dia dengan cara baik-baik."
"Lalu setelah Pak Asep menolak keinginannya, apa yang kemudian terjadi?" Raja kembali mengajukan pertanyaan.
"Akhirnya dia pulang, setelah sempat meminta izin ke toilet selama beberapa menit. Saya tidak curiga sama sekali kalau dia akan melakukan sesuatu yang buruk kepada saya. Setelah dia dan Istrinya pulang, saya segera membereskan cangkir-cangkir bekas minuman dan mencucinya agar bisa disimpan kembali. Sore harinya, saya mulai merasa ada yang salah dengan perut ini. Mendadak, saya merasakan sakit yang begitu menusuk sehingga saya tidak bisa pergi ke mana-mana bahkan untuk bekerja seperti biasanya. Setelah saya mengalami sakit itu, saya segera menelepon Pak RT untuk membantu saya, karena saya bahkan sudah tidak sanggup bangun dari tempat tidur sendiri."
"Dan pada akhirnya Pak Asep tidak sempat bercerita pada Pak Jana, karena tidak bisa menahan rasa sakit yang menyerang perut Bapak?"
"Iya, saya tidak sempat cerita pada akhirnya. Tapi sekarang saya lega, karena akhirnya bisa menceritakannya kepada kamu. Mungkin ... seharusnya saya tidak menolak keinginan Nandan, agar semua ini tidak perlu terjadi," Asep terdengar sedikit menyesal.
"Apa yang Pak Asep lakukan sudah benar. Pak Asep sudah membeli rumah ini dan ada niatan akan tinggal bersama Istri jika sudah menikah. Jadi saya rasa, Pak Asep tidak salah sama sekali saat menolak menjual rumah ini kembali. Itu adalah hak mutlak Pak Asep sebagai pemilik rumah yang sah dari rumah ini. Jadi Pak Asep tidak perlu menyesali apa-apa," ujar Raja, mencoba meyakinkan Asep agar tidak menyesali apa pun.
Asep pun terdiam sambil menganggukkan kepalanya. Pria itu mungkin merasa bahwa apa yang Raja katakan adalah hal yang benar. Dirinya jelas tidak boleh merasa menyesal, karena pada saat itu ia hanya sedang mempertahankan rumah yang sudah menjadi miliknya.
"Baiklah, sekarang mari kita sama-sama berdzikir Pak Asep. Saya akan membantu melawan teluh rambut itu dari luar, dan Pak Asep harus membentengi diri untuk membantu saya dengan cara berdzikir," ajak Raja.
"Ya, saya akan berdzikir sesuai dengan arahan dari kamu. Saya akan membentengi diri ini agar segera bisa terlepas dari teluh rambut yang dikirim oleh siapa pun yang punya niatan jahat kepada saya di antara tiga bersaudara yang sejak tadi kamu sebut-sebut dengan temanmu di rumah-rumah lainnya," tanggap Asep, tidak mau membuang waktu.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH RAMBUT
Horror[COMPLETED] Seri Cerita TELUH Bagian 6 Setelah dua minggu berlalu, Ziva dan yang lainnya kembali bekerja seperti biasa. Mereka kembali mendapatkan kasus yang terjadi di daerah Majalengka. Perjalanan kali itu tidak seberapa melelahkan, karena mereka...