24 | Menangkis Semua Serangan

981 103 1
                                    

Ziva dan Raja tetap berdiri di tempat mereka. Raja tahu kalau Ziva sudah punya persiapan untuk menghadapi makhluk-makhluk yang saat ini tengah menatap ke arah mereka. Makhluk-makhluk yang dibawa oleh ketiga laki-laki itu tampak jauh lebih mengerikan dan juga sangat agresif. Namun karena Ziva sangat tenang saat melihat semua makhluk itu, maka Raja pun ikut merasa jauh lebih tenang.


"Kamu mau menghadapi dua orang atau cukup satu orang saja, Kakanda Rajaku?" tanya Ziva.

Alwan langsung menoleh ke arah Mika saat mendengar bagaimana cara Ziva memanggil Raja.

"Jangan lihat aku, Al. Aku adalah orang yang paling sering merasa sebal kalau Ziva dan Raja sudah saling memanggil dengan panggilan zaman Kerajaan Majapahit seperti itu," Mika mengakui.

"Eh? Ziva sudah sering memanggil Raja seperti itu?" Alwan tampak kaget.

"Akan kuhadapi dua orang jika memang kamu akan mengizinkan, Adinda Zivaku. Tapi kalau kamu tidak mengizinkan, maka aku akan menghadapi satu orang saja," jawab Raja.

Mika pun langsung tersenyum sebal sambil menatap ke arah Alwan.

"Dengar itu ... betapa noraknya mereka berdua kalau sudah berbicara seperti orang zaman Kerajaan Majapahit," ujar Mika.

"Al, sebaiknya kamu berkonsentrasi saja dengan doa yang harus kamu hafalkan daripada ikut menjadi julid seperti Mika. Kamu tidak mau mendapat predikat 'jomblo sirik' seperti yang Mika sandang, 'kan?" ancam Hani.

Alwan pun langsung menghindar dari Mika sejauh lima belas sentimeter, setelah mendengar ancaman dari Hani. Mika sampai tercengang saat melihat Alwan menjauh darinya hanya karena diancam oleh Hani.

"Oke, Han. Aku akan fokus saja pada doa yang harus kuhafalkan. Tolong jangan sematkan predikat 'jomblo sirik' kepadaku, seperti yang kamu sematkan pada Mika. Lagi pula ... aku ini duda, bukan jomblo," jelas Alwan, agar Hani tidak memberinya predikat apa pun.

"Ya kalau kamu duda, berarti predikatnya adalah duda sirik, Al. Tinggal diubah saja sedikit," sahut Rasyid, sambil berupaya menahan diri agar tidak tertawa.

"Ras, tolong jangan sematkan predikat apa pun kepadaku," mohon Alwan.

"Sudah ... sudah ... jangan meributkan soal predikat pada saat yang menegangkan begini. Heran deh ... kalian sebagai pria kok tidak pernah ada serius-seriusnya sih, saat sedang bekerja," tegur Tari.

"Ampun, Sayang. Mika yang memulai," sahut Rasyid.

"Eh? Kok jadi aku lagi yang salah? Yang saling memanggil seperti manusia dari zaman Kerajaan Majapahit 'kan Ziva dan Raja. Kenapa jadi aku yang salah?" heran Mika.

Makhluk-makhluk yang dibawa serta oleh ketiga laki-laki itu kini mulai mendatangi tempat di mana Raja dan Ziva berada. Nandan, Ari, maupun Yayat sama-sama berharap bahwa kedua orang yang mereka hadapi akan segera mundur dan menyingkir dari tempatnya. Mereka merasa harus segera mengeksekusi ketiga rumah yang diinginkan, dengan cara memaksa ketiga korban yang dikirimi teluh untuk menandatangani surat jual beli yang telah disiapkan.

Sayangnya, harapan mereka hanya tinggal harapan belaka. Ziva dan Raja sama sekali tidak beranjak dari tempat mereka berdiri saat itu. Mereka justru berdiri dengan tenang sambil memperhatikan satu persatu makhluk-makhluk yang hendak menyerang, yang mendadak lenyap tanpa ada sebab. Ketika hal itu terjadi, Nandan dan Yayat langsung menatap ke arah Ari, seakan ingin bertanya ke mana perginya semua makhluk yang mereka bawa tadi.

"Ri! Ke mana semua makhluk suruhan kita? Kenapa mendadak semuanya lenyap tanpa jejak?" tanya Nandan, berbisik.

"Pasti kedua orang itu yang sudah membuat makhluk-makhluk suruhan kita menjadi lenyap tanpa jejak! Mereka memang sudah memasang jebakan sejak awal, sehingga berani mengirimkan pancingan kepada kita, agar kita datang ke sini!" jawab Ari, merasa sangat marah.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya? Apakah sekarang kita harus menyerang mereka secara langsung?" tanya Yayat.

"Tidak ada pilihan lain. Jalan satu-satunya yang bisa membuat mereka menyerah dan menyingkir dari bagian depan ketiga rumah lama kita, adalah dengan menyerang secara langsung," jawab Ari, berusaha meyakinkan Yayat. "Kita jangan membuang-buang waktu lagi. Sebaiknya segera saja kita selesaikan urusan dengan kedua orang itu, agar kita bisa segera memiliki rumah lama kita kembali."

"Ari benar, Yat. Kita tidak boleh buang-buang waktu lagi. Ayo, sebaiknya kita serang saja mereka secara langsung," ajak Nandan.

Raja pun menoleh ke arah Ziva.

"Sudah siap?" bisiknya.

"Ya, aku sudah siap sejak tadi. Mereka saja yang terlalu lama berdiskusi," jawab Ziva.

Ketika ketiga laki-laki itu berjalan maju ke arah tempat di mana Ziva dan Raja berada. Raja dan Ziva langsung mengeluarkan pedang jenawi milik mereka, bersiap untuk menahan semua serangan yang akan dikerahkan oleh ketiga laki-laki itu. Alwan kembali menatap ke arah Mika, karena dirinya baru saja melihat senjata tajam yang kini digunakan oleh Raja dan Ziva.

"Mereka punya senjata juga?" tanya Alwan.

"Iya. Di dalam tim ini setiap anggotanya memang wajib memiliki senjata. Karena tidak setiap saat kami berhadapan dengan makhluk gaib, tapi juga berhadapan dengan manusia, khususnya seseorang yang mengirimkan teluh kepada korban. Jadi dalam keadaan seperti itu, sudah pasti kami membutuhkan senjata sendiri untuk membela diri," jawab Mika.

"Kamu juga punya?"

Mika mengangguk, lalu menunjukkan dua samurai pendek yang ada di balik punggungnya dan dilapisi oleh jaket yang ia kenakan. Alwan pun akhirnya paham setelah melihat dua samurai pendek yang Mika miliki. Keputusan mewajibkan memiliki senjata di dalam tim itu jelas adalah keputusan yang tepat. Karena jika para anggota tim tidak memiliki senjata sendiri, maka jelas akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

TRANGGG!!!

Raja dan Ziva menangkis serangan dari Nandan dan Ari dengan kompak. Yayat belum maju sama sekali karena tampaknya masih ragu harus melakukan apa terhadap Ziva dan Raja yang ternyata sudah siap menangkis serangan mereka. Ia ragu sekaligus takut akan terluka akibat tebasan senjata tajam, karena tidak menduga bahwa Ziva dan Raja telah mempersiapkan senjata untuk memberikan perlawanan.

"Yat! Masuk ke rumah paling ujung! Serang siapa pun yang ada di sana dan gagalkan usaha mereka!" perintah Ari, setelah melihat Mika dan Alwan yang berada di teras rumah Asep.

Yayat pun segera berlari menuju ke rumah Asep. Mika segera mengeluarkan dua samurai yang tersimpan di punggungnya dan bersiap akan melindungi Alwan.

"Al, kerjakan apa yang Raja arahkan tadi saat Rasyid, Tari, dan Hani memberi tanda padamu. Aku akan melindungi kamu dari serangan di halaman," ujar Mika.

"Ta--tapi, Mik. Bagaimana kalau aku sampai gagal?" Alwan sedikit panik.

"Kamu enggak akan gagal, Al. Aku percaya sama kamu," jawab Mika, yang kemudian langsung menangkis serangan Yayat saat berada di hadapannya.

* * *

TELUH RAMBUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang