17 | Sejarah Ketiga Rumah Korban

972 104 1
                                    

Mika menatap sebentar ke arah Dirga, karena sebenarnya ia tidak mau ada yang mendengar mengenai apa yang akan ditanyakan olehnya saat itu.


"Katakan saja, Pak Mika, jika ada yang perlu ditanyakan pada Pak Jana. Saya tidak akan mencampuri, meskipun saya mendengar yang Pak Mika tanyakan pada Pak Jana," ujar Dirga.

Mendengar apa yang Dirga ucapkan, membuat Mika segera kembali menatap ke arah Jana. Ia tidak lagi perlu merasa risau, karena Dirga hanya akan mendengarkan tanpa mencampuri urusan antara dirinya dan Jana.

"Begini Pak Jana, saya ingin mengetahui soal ketiga rumah para korban. Mengapa ketiga rumah itu memiliki denah yang sama persis, padahal pemiliknya berbeda-beda dan kawasan ini juga bukan kawasan perumahan?" tanya Mika. "Karena setahu saya, rumah yang memiliki denah sama persis antara rumah yang satu dengan rumah lain, biasanya hanya terdapat pada kawasan perumahan."

Jana pun menghela nafas pelan, lalu terdiam sejenak ketika mendengar pertanyaan yang Mika ajukan. Ia sebenarnya sudah menduga sejak awal bahwa hal itu akan mencuat kembali dan ditanyakan oleh orang-orang yang datang ke ketiga rumah tersebut. Jadi mau tak mau, Jana memang harus menjawab pertanyaan tersebut, agar orang-orang yang sedang menangani kasus aneh pada ketiga rumah itu tidak merasa kebingungan.

"Begini, Pak Mika," Jana memulai. "Sebenarnya ketiga rumah itu dulunya bukan milik keluarga Bu Yani, Bu Lilis, dan Pak Asep. Dulunya ketiga rumah itu adalah milik satu keluarga yang pernah tinggal di Desa ini. Tapi keluarga itu sudah pindah dari Desa ini beberapa tahun lalu, sekitar tahun dua ribu sebelas atau dua ribu dua belas kalau tidak salah. Mereka pindah setelah menjual ketiga rumah itu. Awalnya rumah itu dibangun dan dibagi menjadi tiga karena akan diwariskan kepada ketiga anak dalam keluarga tersebut. Tapi setelah rumahnya jadi, keluarga itu mendadak mendapat musibah sehingga terpaksa harus menjual ketiga rumah itu kepada keluarga Bu Yani, Bu Lilis, dan Pak Asep."

"Lalu setelah menjual ketiga rumah itu, mereka pindah dari Desa ini? Kalau boleh tahu, mereka mendapat musibah apa sehingga sampai harus menjual ketiga rumah itu, Pak Jana?" Mika mengajukan pertanyaan lainnya.

"Yang saya dengar secara langsung dari Istri pemilik rumah waktu itu, Suaminya ditipu oleh rekan kerjanya di luar kota sehingga mereka mengalami kerugian dan harus menggantikan uang dari investor yang dibawa lari sama rekan kerjanya itu. Saya waktu itu menjadi perantara jual beli rumah tersebut, karena Istri pemilik rumah itu tidak tahu harus menjual ke mana. Saya tidak ambil untung atau apa pun, karena niat saya cuma membantu saja agar masalah keluarga mereka bisa cepat selesai. Jadi saya kenalkan mereka pada Almarhum Pak Ahmad yaitu Suaminya Bu Yani, Almarhum Pak Ramzi yaitu Suaminya Bu Lilis, dan juga pada Pak Asep. Dibelilah ketiga rumah itu oleh mereka bertiga, lalu setelah serah terima kunci serta sertifikat rumah, keluarga itu langsung pindah dari Desa ini dan tidak pernah saya dengar lagi kabarnya sampai sekarang," jelas Jana.

"Lalu apakah akhir-akhir ini ada orang yang mencari-cari rumah di daerah sini, Pak Jana?"

Dirga pun langsung mengerenyitkan keningnya usai mendengar pertanyaan Mika yang selanjutnya.

"Kenapa mendadak bertanya begitu, Pak Mika? Apa hubungannya dengan ketiga rumah itu dan para korban?" Dirga ingin tahu.

Mika pun tersenyum dan menatap ke arah Dirga.

"Teluh yang menimpa semua korban adalah teluh rambut, Pak Dirga. Teluh seperti itu biasanya datang karena si pengirim teluh menginginkan apa yang dimiliki oleh korbannya. Maka dari itulah saya bertanya pada Pak Jana, apakah akhir-akhir ini ada orang yang mencari-cari rumah di daerah sini? Alasannya hanya satu, bahwa kemungkinan orang itu sangat menginginkan ketiga rumah yang dimiliki oleh Bu Yani, Bu Lilis, dan Pak Asep sehingga membuatnya nekat mengirimkan teluh, agar pemiliknya segera menyerahkan ketiga rumah itu kepada dirinya," jawab Mika.

"Astaghfirullahal 'adzhim!" ucap Jana dan Dirga, kompak sambil mengelus dada masing-masing.

"Maksudnya, Pak Mika saat ini curiga pada salah satu anggota keluarga yang dulu pernah tinggal di Desa ini? Apakah ada kemungkinan kalau salah satu anggota keluarga itu menginginkan kembali ketiga rumah tersebut?" tanya Jana, meski sebenarnya agak sedikit takut menanyakan hal yang sedang ia pikirkan.

"Kalau dari penjelasan Pak Mika, sudah jelas pasti ada kecurigaan ke arah sana, Pak Jana. Entah itu suami-istri pemilik sebelumnya atau ketiga anak mereka yang seharusnya mewarisi ketiga rumah tersebut, yang menjadi pelaku pengirim teluh pada ketiga keluarga yang saat ini menempati ketiga rumah itu," jawab Dirga, sudah berpikiran lebih jauh dari pikiran Jana.

"Tapi itu masih dugaan Bapak-bapak. Saya bertanya karena hanya ingin tahu saja, untuk saat ini. Mungkin apa yang saya tanyakan ini akan bisa dijadikan acuan ketika sudah tiba saatnya untuk membuktikan," ujar Mika, kembali menggiring Dirga dan Jana untuk berpikir jernih. "Dan ... masih ada lagi yang ingin saya tanyakan pada Pak Jana. Ini mengenai para korban, Pak. Sebelum ketiga keluarga yang sedang kami tangani saat ini terkena sakit mendadak, kapan awal mula mereka terlihat tidak lagi sehat? Apakah Pak Jana bisa memberikan keterangan soal itu?"

Jana kembali terdiam selama beberapa saat.

"Awal mulanya kalau tidak salah adalah dua hari yang lalu, Pak Mika. Jadi waktu itu Pak Asep, Almarhum Pak Ramzi, dan Almarhum Pak Ahmad sepertinya kedatangan tamu pada hari yang sama. Lalu setelah tamu mereka pulang pada sore harinya, mulailah ada tanda-tanda kalau mereka tidak sehat," jawab Jana.

"Apakah di Desa ini ada CCTV yang rekamannya bisa dilihat, Pak Jana?" Mika tampak sedikit menaruh harapan.

"Ada. Itu CCTV sengaja saya taruh di tiang yang ada di persimpangan, supaya semua sudut jalan di Desa ini bisa terpantau dua puluh empat jam."

Mika dan Dirga pun langsung menoleh ke arah yang sedang ditunjukkan oleh Jana. Benar adanya, bahwa pada satu tiang yang terdapat di persimpangan jalan, ada tiga buah CCTV yang mengarah pada tiga arah berbeda sesuai dengan jalan-jalan di Desa tersebut.

"Kalau begitu biar saya yang periksa rekaman CCTV-nya, Pak Mika. Mungkin Pak Mika harus kembali lagi pada tugas yang sebelumnya sedang Pak Mika kerjakan," saran Dirga.

"Baiklah kalau begitu, Pak Dirga. Saya akan serahkan hal itu pada Pak Dirga dan akan saya tunggu kabar selanjutnya jika Bapak sudah memeriksa CCTV tersebut," Mika pun setuju dengan saran itu.

Mika kini kembali melangkah menuju ke arah rumah milik Yani. Namun langkahnya terhenti saat alarm pada ponselnya mendadak berbunyi, yang menandakan bahwa waktu dua puluh menit setelah berwudhu tadi telah habis.

"Aku akan berwudhu duluan," lapor Mika kepada yang lain melalui earbuds miliknya.

* * *

TELUH RAMBUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang