23 | Ragu Sesaat

1K 111 0
                                    

Tatapan Ziva kini hanya tertuju pada tiga orang laki-laki yang muncul di pertigaan jalan Desa tersebut. Jana--yang saat itu tengah berada di halaman rumahnya bersama Dirga--langsung mengenali siapa saja ketiga laki-laki itu. Dirga bahkan terpaku di tempatnya, saat dirinya menghadapi hal yang persis seperti ucapan Ziva. Padahal sebelumnya ia merasa ragu kalau tiga laki-laki yang wajahnya ia lihat pada rekaman CCTV tadi akan benar-benar datang dengan sendirinya. Ketiga laki-laki itu muncul di Desa tersebut, karena Ziva telah mengirimkan pancingan yang tepat kepada mereka. Langkah mereka pun terhenti tepat ketika hampir tiba di depan area ketiga rumah yang mereka inginkan.


"Kenapa kalian berhenti terlalu jauh? Kalian bertiga menginginkan ketiga rumah itu kembali lagi ke tangan kalian, bukan? Lalu kenapa kalian melangkah hanya sampai di sana? Ayo, melangkahlah lebih dekat lagi?" tantang Ziva.

"Dan membuat kami masuk ke dalam perangkap yang sudah kamu buat? Kamu pikir kami sebodoh itu, hah?" gertak Ari--si anak tengah.

"Perangkap? Apakah aku terlihat seperti orang yang suka menjebak orang lain? Bukankah ... itu adalah perbuatan kalian terhadap keluarga Almarhum Pak Ramzi, Almarhum Pak Ahmad, dan juga kepada Pak Asep? Kalian menjebak mereka untuk menerima kedatangan kalian yang berpura-pura bertamu, padahal kalian sebenarnya punya tujuan ingin mengikat rambut di dalam rumah korban sebagai perantara teluh rambut. Kalian sudah tahu bahwa tidak akan mudah untuk memiliki ketiga rumah itu lagi, setelah rumah itu menjadi milik ketiga keluarga yang membelinya. Lalu kalian memilih bermain curang dengan mengirimi ketiga keluarga itu teluh, agar rumah itu bisa kembali jatuh ke tangan kalian. Itulah sebabnya, kalian lebih dulu membunuh Almarhum Pak Ahmad dan Putranya yang bernama Danang, serta Almarhum Pak Ramzy. Aku sudah curiga tentang adanya seseorang yang ingin memiliki sesuatu dari ketiga keluarga itu saat mendengar kabar kematian Kepala Keluarga dan juga ahli waris. Kalian mengecualikan Pak Asep dan memilih tidak membuatnya meninggal, karena Pak Asep belum menikah dan tidak memiliki ahli waris. Bagaimana pun, kalian tetap membutuhkan Pak Asep dalam keadaan hidup, agar bisa menandatangani surat balik nama atas rumah yang dimiliki oleh Pak Asep. Benar begitu, 'kan?" ejek Ziva, dengan sengaja.

Ejekan itu sengaja dikeluarkan oleh Ziva, untuk membuat ketiga laki-laki tersebut terpancing emosi. Karena hanya dengan membuat mereka merasa emosi, maka topeng yang mereka pertahankan akan terbuka dengan sendirinya. Raja keluar dari rumah milik Asep, sementara Rasyid kini akan meruqyah Pak Asep untuk menggantikan posisinya. Alwan dan Mika sudah menunggu di balik dinding teras yang rendah. Saat perintah dari Ziva terdengar oleh mereka, maka mereka berdua akan segera menghancurkan rambut yang tadi mereka temukan dan dikumpulkan dalam satu wadah yang sama. Raja telah mengajari mereka cara untuk menghancurkan rambut itu, jadi kini mereka akan menjalankan tugas tersebut agar Raja bisa mendampingi Ziva saat menghadapi ketiga laki-laki yang ternyata adalah dalang dari teluh rambut tersebut.

"Semoga saja kita tidak mendapat halangan apa pun ketika akan menghancurkan rambut-rambut itu," bisik Alwan.

"Insya Allah semua akan lancar selama kita yakin bahwa Allah akan membantu kita. Kita sedang melakukan hal yang benar untuk menyelamatkan nyawa orang lain, dan Allah pasti akan menyertai langkah kita saat ini," balas Mika, ikut berbisik.

"Oh, ya ... kalau boleh tahu, apakah kamu sempat menduga kalau pelakunya ada tiga orang seperti itu?" tanya Alwan.

Mika pun menggelengkan kepalanya.

"Aku sama sekali tidak menduganya, Al. Biasanya kami hanya menghadapi satu orang tukang teluh jika ada kasus. Baru kali ini kami harus menghadapi tiga orang sekaligus," jawab Mika.

"Dan apakah menurutmu Ziva dan Raja bisa menghadapi mereka meski hanya berdua saja? Tari, Hani, dan Ras jelas harus melaksanakan ruqyah kepada para korban. Sementara kita berdua tidak boleh meninggalkan rambut yang akan dimusnahkan ini. Apakah mereka bisa, Mik, menghadapi orang-orang itu?"

"Mari kita serahkan semua itu kepada Ziva dan Raja. Aku yakin, mereka pasti bisa menghadapi ketiga laki-laki itu. Insya Allah."

Wajah ketiga laki-laki yang ada di hadapan Ziva dan Raja kini tampak jauh lebih bengis daripada sebelumnya. Mereka tampaknya kesal, karena Ziva mengetahui niatan mereka serta berani membongkarnya tanpa merasa takut. Mereka jelas sama sekali tidak menduga kalau ada seseorang yang akan membeberkan niatan mereka, padahal mereka sama sekali tidak saling mengenal.

"Sebaiknya tutup saja mulutmu dan cepat pergi dari sini! Jangan campuri urusan kami!" bentak Nandan--si anak sulung.

"Benar itu! Jangan ikut campur dengan urusan kami, atau kami akan membuat kamu menyesal!" tambah Yayat--si anak bungsu.

Ziva tampak begitu tenang dan sama sekali tidak merasa terusik dengan ancaman yang diberikan oleh ketiga laki-laki itu. Raja merangkulnya dengan lembut, sambil menyimpankan pedang jenawi di balik punggung Ziva.

"Kenapa kalau aku ikut campur? Kalian takut aku membongkar kenyataan bahwa rumah ini sudah dijual oleh kedua orangtua kalian ketika mereka ditimpa musibah? Kalian tidak ingin mendengar mengenai hal itu karena terlalu membenci kegagalan yang dilakukan oleh Bapak kalian? Kalian merasa kecewa karena sampai harus kehilangan ketiga rumah itu hanya karena Bapak kalian ditipu? Adakah pertanyaanku yang salah?" tanya Ziva.

Ketiga laki-laki itu tampak semakin geram usai mendengar semua pertanyaan yang Ziva ajukan. Amarah di dalam hati mereka semakin menjadi-jadi, membuat mereka tak ingin lagi menahan-nahan diri.

"Cukup! Berhenti membahas soal masa lalu keluarga kami yang buruk! Sekarang kalau kamu memang berani, ayo hadapi kami bertiga! Kita lihat siapa yang akhirnya akan menjadi pemenang hari ini!" tantang Ari.

"Pemenang? Kami sama sekali tidak ingin memenangkan apa pun dari kalian. Kami hanya ingin menghentikan ulah kalian yang sudah mengirimkan teluh kepada para korban, sehingga mereka merasa sangat tersiksa. Kami tidak ingin jadi pemenang," balas Raja, sama tenangnya seperti Ziva.

"Kalian terlalu banyak bicara! Sekarang, terima ini! Hadapi jika kalian merasa paling hebat dalam menghadapi makhluk gaib!" seru Yayat.

Tatapan makhluk-makhluk tak kasat mata yang sejak awal berada di belakang ketiga laki-laki itu kini terarah kepada Ziva dan Raja. Namun keduanya tampak tetap setenang tadi dan sama sekali tidak mundur dari posisinya. Hal itu jelas membuat ketiga laki-laki itu merasa heran sehingga saling melirik satu sama lain.

"Kenapa mereka tetap diam di posisinya? Bukankah seharusnya mereka kini mulai mundur setelah kita mengerahkan pasukan sebanyak ini?" tanya Nandan, berbisik.

"Tunggu saja, mereka pasti akan segera menyerah," jawab Ari, ikut berbisik ke arah Kakaknya.

* * *

TELUH RAMBUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang