Demonstrasi Besar-Besaran

38 25 11
                                    

Shena's POV

     Pagi itu, saat aku baru sampai sekolah, aku langsung berjalan menuju kelas seperti biasa. Namun, aku terhenti saat melihat keramaian di depan ruangan kepala sekolah. Ada apakah gerangan? Karena kebingungan  mengenai pemandangan yang kulihat di depan ruang kepsek, maka dari itu aku segera mencari teman-teman sekelasku.

     Tanpa membutuhkan waktu lama, aku menemukan Sindai, Felice, dan Nata yang sedang berdiri di situ. Mereka nampak sedang melihat-lihat hal apa yang memicu keributan di depan ruang kepala sekolah itu.

     "Eh kalian, ada apa sih?" tanyaku yang kebingungan mengenai apa yang  baru saja kulihat.

     "Itu loh, demo murid-murid. Maksa Bu Kepsek buat turun dari jabatannya," jelas Sindai.

      "Hah Bu Retno ngapain lagi? Bukannya kasus nilep uang hasil menang olim udah kita spill semester     lalu ya?" tanyaku.

      "Bukan nilep yang sekarang, tapi ada banyak tagihan pembayaran yang ga jelas perinciannya. Udah nagih-nagih, malah ditinggal liburan keluar negeri lagi, keliling Eropa yang keliatan banget biayanya ga mungkin murah. Gila kan?" jelas si kecil julid alias Pelangi Sindai Amara, atau yang lebih dikenal dengan nama Sindai.

     "Iya eh gila banget, udah gitu kalo sama anak-anak songong banget. Pikirannya juga ga kebuka padahal zaman udah modern. Tua umur boleh, tapi tua pemikiran jangan. Makanya banyak murid yang bawa spanduk yang tulisannya "arogan" sama "diktator" di sini," jelas Felice panjang kali lebar kali tinggi.

      "Bener banget kata-kata lo, umur yang udah tua itu bukan penghalang buat ikut berkembang bersama zaman yang semakin canggih loh! Percuma zaman udah modern tapi otaknya ketinggalan di era paleolitikum," ejekku yang langsung disambut oleh suara cekikikan dari ketiga sahabatku.

        "Ga gitu juga kali, ga sampe nyasar ke jaman paleolitikum otaknya. Paling tua ya cuma di jaman penjajahan Belanda," respon Nata sembari tetap tertawa.

      Oh ya, jika kalian belum tahu, aku, Sindai, Felice, dan Nata membuat kelompok yang membahas soal gosip di sekolah. Kami membahasnya melalui semacam "konferensi pers" di sekolah dan juga membuat akun Twitter dan grup Whatsapp untuk jangkauan yang lebih luas. Grup Whatsapp yang kami rintis berempat itu bahkan sudah ada 6 cabang, yang mana masing-masing cabang memiliki peserta sebanyak lebih dari 200. Banyak sekali yang berkomentar dan menunggu kami untuk menyebarkan gosip baru lagi. Yang kami bahas bermacam-macam, mulai dari murid, guru, bahkan sampai orang-orang yayasan pun juga dibahas apabila melakukan kesalahan besar yang tercium oleh kami.

      Karena demonya pagi-pagi dan terjadi saat aku berjalan ke kelas, maka dari itu sedari tadi aku belum meletakkan tas di kelas karena aku bertemu dan bercengkrama dengan ketiga sahabatku. Mengingat ini, aku pun langsung berpamitan dengan sahabat-sahabatku untuk meletakkan tas di kelas sejenak. Setelah kembali ke depan ruang kepala sekolah, aku kaget sekali karena kericuhannya bertambah besar.

      "Bubar! Bubar! Ayo kembali ke kelas masing-masing! Jam pelajaran sudah dimulai!" teriak Pak Yoga, wakasek bidang kesiswaan, sembari mencoba menghalangi pintu ruang kepsek agar para murid-murid yang sedang terbakar oleh rasa amarah tak nekat untuk memaksakan diri masuk ke dalam ruangan tersebut. Namun, teguran dari wakasek bidang kesiswaan itu tak diindahkan dan murid-murid dari tiga angkatan tetap memaksa masuk ke dalam ruang kepsek.

      "Kenapa sih Sin, kok sampe seheboh ini? Sampe wakasek bidang kesiswaan pake turun segala," aku masih kebingungan mengapa suasana pagi hari ini panas sekali nan penuh dengan rasa marah pun bertanya lagi pada Sindai.

    "Sebenernya guru-guru ga mau ikut campur sih, cuma gara-gara tadi ada yang nyoba ngelempar batu ke pintu ruang kepsek, makanya guru-guru jadi pada turun. Untungnya kaga sampe rusak itu pintu," cerita Sindai.

       "Wah, balik lagi. Demo boleh, nyampein aspirasi boleh, mengkritisi sesuatu boleh, yang penting caranya harus etis. Jangan sampai pake kata-kata kasar apalagi sampe berbuat anarkis," komentarku.

        "Nah gitu dong! Tumben Shena waras!" komentar Felice, Nata, dan Sindai bebarengan. Kami pun tetap berada di situ sampai acara demo selesai karena harus membuat rekapan untuk Lambe Smabukel.







==Unbelievable==












[SUDAH TERBIT, OPEN ORDER] unbelievable // k-idols 01lTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang