Penipuan! Mertua belum keliatan di bab ini!

401 13 0
                                    

Di jalan menuju kosan, kedua orang itu di selimuti sunyi senyap dan Rasya sudah menggerogoti jarinya tidak tahan akan keterdiaman Bella yang biasa seperti itu tetapi sekarang malah membuat Rasya kelimpungan ingin memaki siapapun yang dia liat untuk merasakan, bagaimana perasaan saat tau temanmu yang tidak pernah marah menunjukkan kemarahannya sambil diam seribu bahasa.

Lebih baik Bella memaki dan berteriak daripada diam bak batu, sumpah, ini sangat menyiksa.

Rasya mencoba berpikir dengan otak udang yang dia punya, harus bicara apa dia agar dapat menarik perhatian Bella yang bahkan dia terus batuk dan bersendawa tidak dikomentari seperti biasanya. Dia akhirnya membenarkan ucapan Bella tadi di caffe, jika otaknya memang kecil.

Dia tidak menemukan cara apapun, tapi akhirnya dengan satu keberanian dia memanggil.

"Bella!" Hal itu membuat temannya berhenti kemudian menoleh perlahan.

Kedua mata Rasya membesar, dia menemukan air mata membasahi kedua pipi temannya itu yang menatap kearahnya dengan kerutan di dahi seakan tidak menyadari jika dia menangis.

"Lo nangis? Apa sesakit itu?"Rasya mendekat dan memegang dua lengan Bella.

Reflek tangannya menyentuh pipi,"Ah... Kok gue nangis anjir! Pasti kelilipan ini." Katanya mengusap wajahnya dengan lengan baju.

"Bella, gue di sini. Lo bisa cerita sama gue kalau itu perlu," Rasya menangis, dia bisa merasakan kesedihan dari sosok Bella. Dia tidak pernah tau selama ini tentang beban yang temannya pikul, hampir dua tahun.

Bella malah terkekeh,"Loh kok malah lu yang nangis. Sialan emang, cengeng banget lu!" elaknya mengatai Rasya justru terlihat lebih menyedihkan dimatanya.

"Jangan begini Bella, lo berhak buat nangis, lo berhak buat merasa sakit. Lo gak perlu ketawa, kalau ya nangis, kalau memang lucu ketawa. Jangan membingungkan diri sendiri, elakan lo malah menumpuk masalah itu sendiri dan jadi bom waktu di masa depan!!" ujar Rasya yang sudah belepotan wajahnya akibat menangis sedang Bella malah tersenyum melihat temannya lebih tersakiti meski tak mengetahui kisahnya.

Padahal, dia sendiri tak dapat meraba perasaannya sendiri karena terlalu mahir baginya untuk menutupi apa yang sebenarnya dia rasakan. Dia selalu berlaku bodoh agar tak mengingat rasa sakitnya yang tak nyaman, itu membuat hari-harinya sangat buruk.

Bella jalan lagi meninggalkan Rasya yang menangis mengekor padanya, "Gue nggak nangis, ini beneran kelilipan anjing!!" Bella mulai memaki untuk menutupi dirinya yang goyah."Jangan ketawain gue setelah ini, tapi kayaknya minjem bahu lo juga bisa. Jangan ketawa!!" Kelakar Bella pada Rasya yang sudah berhenti dilangkah ketiga dan berbalik berhadapan sebelum Rasya memeluk tubuh sahabatnya.

Dia merasa seperti saudara bersama Rasya, walau dialah yang kadang memberikan tembok tinggi untuk menghalangi siapapun menengok dalam isi hatinya.

"Iya, iya. Buruan nangis, mumpung bahu gue kosong." Jawab Rasya yang menepuk punggung Bella dengan tangisan yang tidak kalah sama pecahnya.

Bella tertawa dalam tangisnya,"Gue sebenernya punya bahu sih, cuman keras."

"Bahu apaan tuh keras?" Rasya menjawab sambil menarik ingusnya.

"Bahu jalan." Kata Bella.

"KAMPRET! Udahlah, tuntasin dulu nangisnya. Kalau banyak omong nanti capek."Kata Rasya di angguki oleh Bella.

Keduanya berpelukan, di pinggir jalan yang lumayan ramai dan beberapa pasang mata melihat. Bahkan sesekali ada yang bertanya pada Rasya apa yang terjadi pada Bella yang menangis begitu keras, dia sudah meminta Bella untuk pindah tapi temannya ini malah semakin kencang nangisnya membuat malu. Mau marah tapi yang lagi ada masalah Bella dan yang dapat masalah baru Rasya.

...

Marfel tengah menutup matanya dengan lelah, sebenarnya pekerjaan ini bukanlah bagiannya. Tetapi karena adik keduanya tengah berlibur dia meminta agar semua di handle, padahal dia seorang direktur harusnya bisa lebih santai. Tetapi adiknya ini sangat tidak sopan, tidak seperti Rasya yang menggemaskan. Chika adalah perempuan yang memiliki pikiran bebas, dia suka bepergian ke tempat-tempat yang asri dan menginap di sana.

Bersama teman-temannya dan sering juga dia di kadali oleh buaya darat, hal yang sering membuat dia darah tinggi karena keseringan memaki pria-pria mokondo yang mau uang dan sekedar kecantikan adiknya saja. Tapi Chika tidak pernah belajar, dia selalu seperti itu.

Hampir sama dengan Rasya, kedua adiknya suka sekali memacari lelaki yang menyatakan perasaan padanya dengan mudah. Tidak ada pertimbangan, jika dia bisa di ajak pergi dan memiliki kantong yang mudah mengeluarkan uang untuk jajan mereka. Pasti akan mudah mendapatkan kata 'ya' dari kedua bibir adiknya, berntungnya sejak Rasya berteman dengan Bella dan Kayla, kebiasaan buruk itu berhenti.

Bisa bayangkan betapa Marfel punya banyak pekerjaan tetapi ditambahi oleh kedua adiknya yang sangat-sangat kemudahan konteks sebenarnya adalah antonim dari kemudahan itu sendiri. Suara ketukan dari luar membuat dia mengernyit, berdoa semoga ini bukan pekerjaan milik adiknya ynag terbengkalai.

"Masuk." Marfel menatap tajam sekretarisnya yang selalu membawa tab untuk membacakan informasi terbaru padanya, dia sangat kompeten dan sulit sekali didapatkan untuknya.

Sekretarisnya itu mengangkat pandangannya dari tab,"Maaf pak, ada kabar dari penjaga kita kalau non Rasya dan mbak Bella menangi sberpelukan setelah bertemu dengan seorang laki-laki pekerja kantoran di caffe di dekat kosan non Rasya."

Marfel segera membenarkan posisi duduknya, dia menatap sekretarisnya itu dengan intens dan memberikan perintah.

"Berarti kamu perlu cari tau orang itu, penjaga mengikuti kepergian orang itu?"

"Iya tuan, dia sudah menemukan lokasi rumahnya. Saya akan memberikan kabar tentang informasi lebih lanjutnya nanti malam." Ujar sekretarisnya diangguki oleh Marfel.

Sedang Marfel sendiri ingin segera mengemasi semua barang di atas mejanya dan pulang ke apartemen nyaman miliknya, dia butuh menyegarkan diri saat ini. Sayang sekali, seharusnya di umur tiga puluhnya, dia bisa pulang dengan senang dan bahagia bersama istri yang menanti di rumah. Tetapi yang ada di rumah hanyalah ranjang yang empuk untuk dia tiduri meredakan letih, dia mungkin sudah semakin tua dan membutuhkan pasangan. Karena dia masih sendiri sampai sekarang, sulit untuk menemukan seorang istri yang tepat.

Apalagi ayah dan ibunya sudah mulai gencar menjodohkan dia dengan anak-anak kolega bisninya. Kadang beberapa rekan bisnis Marfel juga menawarkan untuk di kenalkan dengan sepupu ataupun teman emreka, bahkan ada yang langsung terang-terangan mendekatinya. Tetapi semua itu tidak masuk ke dalam hatinya, hanya masuk ke matanya sambil mengagumi betapa indah ciptaan tuhan perihal seorang wanita.

Dia sampai meneguk ludah terus menerus jika di dekati oleh perempuan dengan postur indah dan cantik, tapi setelah itu tidak ada yang melekat dalam ingatan. Ada satu orang, tetapi dia masih belum yakin itu adalah perasaan yang di namakan cinta. Satu orang yang berhasil membuat detak jantungnya sering gaduh tak tentu, kadang dia bersikap norak kalau sudah di hadapakan dengannya. Namun dia masih terlalu muda dan bagaiman bisa dia tertarik dengan anak baru gede kemarin sore, dia sudah dewasa, bisa di panggil om-om girang kalau bersanding dengannya.

Kita sedang membahas Bella, tentu saja. Siapa lagi memangnya.

Tidak lama setelah itu, teleponnya berdering dia melihat keatas meja di sana tertera kontak adik keduanya. Dia malas mengangkatnya, Chika kalau sudah menelpon pasti yang dia inginkan dan akan memerasnya begitu banyak. Kartu atmnya saja sudah di curi, mau dia blokir tapi Marfel takut adiknya malah menjadi gelandangan nanti di kota orang.

Aduh, Marfel saja lupa, adiknya ini sedang bepergian dalam negeri atau berada di negara lain. Akhirnya tanpa daya dia mengambil ponsel untuk menekan tombol hijau menerima panggilan.

"Halo..."

"Bang!! Gue kecolongan, atm sama semua barang-barang gue termasuk parport juga menghilang. DUARRR!" Cerita sang adik yang masih tidak di tanggapi oleh Marfel. 

Aku Milik Pak Dosen. [Rewrite]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang