5 | Beer and Cigarette

127 21 5
                                    

RIKA hancur sejak dua tahun lalu.

Kala itu, hari kelulusan SMP yang sangat buruk. Mendung bergulung-gulung di Distrik Selatan. Hujan menghantam lebat sejak tengah malam hingga pagi hari, mengurung Rika yang sudah mengenakan gaun merah muda di dalam rumah petak.

Rika memangku dagu di ambang jendela buram, memandangi derai hujan yang menusuk daun. Bau tanah becek menguar kuat dan bunyi petir bertalu-talu seiring langit berubah semakin gelap, terutama sungai yang kian mengalir deras.

Rika murung dan menekuk bibir, bukan karena hujan lebat yang mencegahnya pergi ke acara kelulusan. Acara itu akan menobatkannya sebagai pemegang nilai terbaik. Bahkan kematian sang ibu yang berlalu sudah seminggu bukan menjadi alasan murung. 

Rika sedih bapak tidak pulang sejak kemarin, padahal sekarang hari libur. Rika sudah meneleponnya 15 kali dan tidak diangkat. Ia juga menghubungi semua rekan kerja, termasuk Pak Goldy yang terkenal dengan kejujurannya. Namun, jawabannya sama:

"Pak Imron sedang tidak bersama kami."

Rika mengetuk-ngetuk layar ponsel yang berbaring di hadapan. Ia berharap ada bunyi telepon dari ayah atau salah satu temannya. Sebuah SMS pun tak apa. Namun, ponsel terdiam dengan layar hitam membubuhi. Bahkan, tak sadar air mata menetes dari pelupuk gadis yang sudah cantik berdandan untuk hari kelulusan. Namun—!

Pak Goldy tiba-tiba menelepon, dan Rika mengangkatnya dengan senang hati:

"Bagaimana, Pak Goldy? Apa ada kabar tentang Bapak?"

"Maaf sebelumnya, Rika ...." Suara Pak Goldy gemetar dan ragu-ragu dari balik telepon.

"Ada apa, Pak? Jangan bilang Bapak terkena—!"

"Tidak, Rika. Bapak kamu baik-baik saja. Dia masih hidup dan tidak terkena kecelakaan sama sekali."

"Lantas, mengapa Bapak gemetar?"

Pak Goldy sempat menghentikan ucapan. "Rika, kata anak buah Bapak, mereka sekilas melihat Pak Imron. Dia sedang berada di ... kasino."

Rika berlari memecah hujan. Menjinjing rok gaun tinggi-tinggi, ia menerobos genangan air dan deraian setajam jarum, apalagi petir yang menyambar-nyambar di angkasa. Ia tak takut sama sekali. Namun, berkebalikan dengannya, ia telah menakuti Pak Goldy dengan membiarkan telepon menyala tanpa memberikan jawaban sama sekali.

Rika bergegas menuju kasino yang terselubung di utara Distrik Selatan. Jaraknya tujuh blok dan Rika berlari dengan gaun basah yang seberat tubuh. Pada detik itu, ia tak kelelahan sama sekali. Rasa kecewa yang membuncah memenuhi kaki sebagai bahan bakar. Ia akan memastikan sendiri, Apakah aku akan percaya kepada bapak ... atau tidak.

Lima belas menit kemudian.

Rika sampai di depan kasino terselubung yang menyamar sebagai tempat karaoke yang bertuliskan Family Karaoke. Gedung itu beratap datar dengan kerangka bujur sangkar. Catnya hitam dengan lampu kelap-kelip menyala bergantian menghias. Halamannya luas yang terparkir belasan mobil-mobil mewah di depan. Pintu kaca yang bertuliskan larangan anak di bawah umur, tidak dihiraukan oleh Rika. Ia merangsek masuk untuk menemui sang bapak.

Kebetulan tidak ada penjaga sehingga Rika bisa memasuki lorong gelap yang bercahayakan lampu kuning remang. Di sela-sela dinding hitam dan berlukiskan cerutu atau wanita seksi, Rika terus menghentakkan langkah kuat disertai amarah, menyingkap gaun merah muda yang basah dan riasan yang sudah luntur. Bibirnya merah dan matanya menghitam, luntur sebab air hujan ... dan air mata.

The Servant and The Nineteen Wardens of HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang