19 | Affairs

52 13 2
                                    

TIADA yang menyadari malapetaka pada hari itu.

Tidak satu pun kebahagiaan yang mekar, jauh lebih banyak dan lebih wangi daripada saat ini. Setiap orang menyebut nama Wafir tanpa henti, layaknya seorang anak yang diramalkan. Bahkan langit mengamini suka cita para manusia yang dipayungi. Tak ada awan kelabu yang memagari sinar hangat mentari yang masih bertengger sepenggalah di atas cakrawala. Sayangnya, warga Surga belum menyadari apa yang akan terjadi beberapa saat lagi, terutama Rika. Tak terlintas kecurigaan di benak tentang sosok yang ada di balik pintu.

Ia bergegas menyentak pintu kayu di ruang depan, lalu memeluk lagi sosok yang membelenggu hati. Sejak terpisah di kala Kota Batu meledak, Rika merindukan sosok suami yang tiba-tiba ditarik ke Barat. Padahal, dia tidak terserang luka yang begitu banyak. Hanya terpelanting ke antara rerimbunan pohon pinus dan telinga yang berdenging disebabkan dentuman ledakan. Namun, kali ini ia akan melepas rindu dengan Wafir. Ia rindu muka putih manis dan mata lebar sang suami, termasuk bibir manis yang tak pelit senyum.

"Mas Wafir?"

Mata Rika berbinar ketika menangkap sosok sang suami. Di balik pintu, Wafir berdiri tegar dengan balutan mantel putih yang gagah, khas para Imam. Namun, tekanan membelenggu hati Rika ketika bertemu Wafir. Seperti ada yang berbeda. Kenapa dia tak tersenyum? Kenapa matanya tidak membuka lebar dan penuh antusias? Kenapa dia mendaratkan tatapan itu, tatapan para lelaki seperti anjing jalanan?

Wafir pun melesat untuk memeluk Rika dan hampir mendaratkan bibir untuk mencium istrinya. Namun, Rika menolak. Rasa takut menggerayangi sekujur tubuh. Bahkan, ketika mulut Wafir mendekat, ia tak mencium bau manis dan kebaikan.

"Sayang, lama tak jumpa. Aku merindukanmu!" Wafir mengeratkan pelukan.

"Lepas dulu, kita masih di luar." Aku tidak nyaman dengan pelukan Mas Wafir dan sejak kapan ia memanggilku 'sayang'?

"Apa kamu tidak merindukanku, Sayang? Atau hadiah setelah dinobatkan sebagai Imam? Satu ciuman hangat, mungkin?"

Rika menggeleng. "Jangan dulu, Mas. Aku tidak mau melakukannya di sini. Lebih baik masuk dulu, lalu istirahat dulu di kamar. Mas Wafir bahkan belum menceritakan tentang kejadian di Barat."

"Ah, iya. Di kamar boleh juga." Wafir manggut-manggut.

Rika pun menuntun Wafir ke kamar. Hatinya gemetar takut sebab Wafir benar-benar berbeda. Matanya dipenuhi nafsu dan senyumannya dikuasai kesombongan. Cara jalannya pun aneh, sempoyongan layaknya orang yang kelelahan berjalan bermil-mil. Karena itu, Rika menyuruh Wafir beristirahat. Namun, selain seperti orang keletihan. Jalan sempoyongan Wafir kali ini lebih mirip seperti ... orang mabuk.

Ketika Wafir sampai di kamar, ia langsung mendahului Rika. Ia melesat dan melompat di atas dipan yang empuk berseprei seputih kapas. Permukaannya halus dan empuk dengan bau mint yang masih menempel. Ia memiringkan badan untuk mengundang Rika. Namun, di hati kecil Rika ada ketakutan. Ia tak pernah takut kepada Wafir biasanya, tetapi kini berbeda. Karena itu, ia memutuskan untuk menenangkan hati.

Dari lagak dan posisi Wafir kini, Rika sudah dapat membaca apa yang ia inginkan dan apa yang akan terjadi. Setelah pernikahan, keduanya tak sempat tidur bersama. Ciuman mereka membuahkan gulungan kristal setinggi 15 meter, yang mampu menghancurkan rumah. Namun, sebelum hal tersebut terjadi, Rika ingin meyakinkan hatinya. Jangan sampai ada penyesalan setelah melakukannya.

"Aku mau sembahyang dulu, Mas," izin Rika ke kamar mandi.

"Kenapa malah ke kamar mandi?"

"Aku mau bersuci dulu. Baru setelahnya aku mau sembahyang di kamar. Mas tidak mau ikut sembahyang juga?"

"Aku sudah."

Rika pun tak ingin membelitkan percakapan. Ia bergegas ke kamar mandi. Kudungnya masih melilit di kepala, ragu untuk dilepaskan di depan sang suami sendiri. Setelah wajah, tangan, rambut, dan kaki basah tersucikan, ia kembali ke kamar. Menggelar selembar alas coklat yang terbuat dari bludru, ia mulai mengangkat tangan seraya membaca niat. Kemudian, dia melipat tangan dan menundukkan kepala. Mulai kusuk untuk bermunajat.

The Servant and The Nineteen Wardens of HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang