31 | Supernova

39 10 0
                                    

TANGGA ITU menggiring Wafir turun ke bawah, lebih dalam daripada tinggi istana.

Hanya ada hitam pekat yang menyelimuti. Suasana pengab dan sensasi basah dari keringat yang berceceran menambah aroma apek di lorong berdiameter setengah meter. Suasana sepi dan tak ada satu pun yang bisa didengar, kecuali raungan asap yang berderu sebab ketakutan atau bunyi kepanikan samar-samar yang berseteru di halaman istana.

Wafir terus turun satu demi satu Titian anak tangga. Tiga poin kontak yang wajib dilakukan tiap langkah, terus ia kordinasikan dengan otak dan tubuh. Tangan yang basah tidak ingin dijadikan sebagai alasan mati konyol sebab terjun bebas dari ketinggian lebih dari dua lantai. Meski begitu, Wafir masih belum tahu, berapa lama ia harus turun ke bawah. Hingga tak lama berselang, kakinya menginjak tanah berbatu yang keras.

Cahaya lilin biru secara misterius menerangi ruangan. Seperti aula yang begitu luas, hanya saja langit-langit berbatu yang memayungi, tidak begitu tinggi. Hanya berjarak satu meter dari puncak kepala Wafir. Seluruh ruangan bagai penjara di abad pertengahan, tetapi tidak ada jeruji besi yang berterbarang. Hanya ada ruangan kosong seluas lapangan sepak bola. Di sela-selanya, terhampar puluhan pilar yang memancang untuk menahan tanah agar tidak ambruk.

Wafir melangkah hati-hati seraya bersiap untuk menciptakan gundukan berlian. Dia berpikir, bagaimana bisa di bawah Surga mengandung ruangan sebesar ini. Tidak ada kecurigaan yang bisa mengoyak perhatian Wafir yang terus fokus ke depan. Beberapa kali, bunyi geretan dan jatuhan batu yang entah dari mana, sempat membuat bulu kudu berdiri. Namun, Wafir memilih untuk tidak menggubrisnya dan terus maju. Ia tidak percaya hantu gentayangan. Pun kalau mereka ada, Tuhannya jauh lebih kuat ketimbang mereka. Namun—

"Wafir!" Seberkas teriakan pria memanggil namanya dari kejauhan.

Wafir menoleh seraya mengguratkan tatapan gemetar. Ia sempat memikirkan hantu gentayangan benar-benar ada, tetapi ia melepas napas lega setelah melihat sosok yang memanggilnya. "Mas Ray! Bagaimana kau bisa menemukanmu di sini?" Lalu, di belakang Ray muncul teman-teman Wafir mengikuti. Rika, Hasbie, dan Diyah. "Kalian juga di sini? Siapa yang menjaga pelataran istana"

"Singkat cerita, Imam Ibrahim dan keempat putranya akan menghadapi Penjaga Neraka yang akan datang. Kami hanya kemari sesuai perintah Khrisna. Dia bilang, Wafir butuh bantuan di dalam istana yang gelap dan menurut keterangan Imam Ibrahim, jelas Malik II sedang menggiringmu ke bagian terbawah istana," tutur Ray secepatnya.

"Bagus, memang lebih baik jika kita beramai-ramai. Tapi, di mana Khrisna."

Ray menggeleng. "Aku tidak tahu. Setelah menuntun kami dari pintu yang mengarah dari basemen, ia pamit untuk mengungsikan penduduk Distrik Pusat. Penjaga Neraka pasti rela melakukan apa pun untuk memenangkan pertarungan."

"Baiklah, semoga Khrisna tidak apa-apa." Wafir menyembunyikan kecemasannya kepada Khrisna. Dia sudah berkorban sangat banyak untuk kami, bahkan Surga.

"Wafir, jika kau ingin mengejarnya di bagian terbawah Surga, sebaiknya kita terus menempel dan tidak berpencar." Ray mengalihkan fokus Wafir dari Khrisna kepada ruangan sekitar.

"Kenapa?"

"Kau sepertinya belum tahu tentang rumor tempat ini."

Wafir menggeleng. "Ceritakanlah!"

"Di bawah Surga, terdapat tempat terendah yang luasnya bisa setara dengan Surga itu sendiri. Tidak ada yang menempati ruangan ini sebab tidak ada yang mengetahui letaknya kecuali Malik dan para Imam. Karena itu, banyak yang bilang tempat ini ... berhantu."

"Lantas?"

Diyah memotong. "Ray takut dengan hantu!"

Hasbie tersedak tawa. "Masa, Jundun sekuat dengan badan sebesar Ray takut dengan sesuatu yang tidak nyata!"

The Servant and The Nineteen Wardens of HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang