12 | Imam

67 17 4
                                    

PARA IMAM berkumpul di atas puing-puing Kota Batu yang hangus.

Empat pria terkuat, tercerdas, dan terbijak berdiri di atas bekas ledakan. Mantel putih selutut berkibar diterpa angin, seragam yang sama dengan tentara, hanya saja warnanya putih khusus layaknya para pemangku jabatan tertinggi. Kemeja yang menggambarkan satu per satu distrik tergambar jelas di badan yang terukir kokoh: putih, hijau, coklat, dan biru. Mereka bergegas menuju Kota Batu setelah mendapat kabar para Jundun dan Pak Goldy dijebak oleh Penjaga Neraka.

Fajar telah menyingsing di atas cakrawala, menampakkan kabut yang mulai menipis. Langit biru semakin jelas melayang-layang dan ribuan mayat berserakan hangus terbakar di tanah. Dari sekian banyak tubuh gosong tergeletak tak bernyawa, para Imam berkumpul di atas sebuah jasad. Tato hitam terukir di leher.

"Itu Qawl," ucap Imam berbadan raksasa garang. "Dia Penjaga Neraka gerbang keji ke-8. Dia benar-benar tewas."

Senyum lebar merekah di bibir garang Imam tersebut. Akhirnya, setelah 19 bulan dihantui oleh Penjaga Neraka, Surga berhasil mengalahkan satu di antara mereka. Akan tetapi, menurut laporan tadi malam, mereka menghadapi dua orang Penjaga Neraka. Satu Qawl dan satunya bernama Sodom. Dia Penjaga Neraka gerbang keji ke-3.

Mendengar data diri Sodom, Imam raksasa itu tidak kecewa sama sekali. Memang seharusnya demikian. Sodom adalah Penjaga Neraka tingkat tinggi. Sudah sepantasnya ia tak terbunuh oleh ledakan yang membumihanguskan Kota Batu. Dia pasti tahan dari serangan sebatas ini. Meski begitu, berita ini tetap harus dilaporkan.

"Aku akan memanggil Malik," ucap Imam raksasa itu sekali lagi.

Dalam sekejap, sepasang mata tiba-tiba muncul dari angkasa, tepat melayang dua meter di atas jasad Qawl. Mata itu sama seperti mata yang muncul saat Khrisna memanggil nama sang kakek.

"Malik, salam." Imam raksasa itu membungkukkan badan, diikuti tiga imam lain.

Mata sang Malik pun mengedip, lalu menunduk sejenak di angkasa. Ia mengangguk paham dan menyetujui bahwa laporan sudah diterima. Dengan demikian, para Imam dipersilakan melanjutkan pembahasan tentang pengganti sementara Pak Goldy, seorang Imam baru.

Keempat Imam itu terdiam dan tidak berani melontarkan sepatah kata. Mantel tentara yang berwarna putih panjang masih berkibar, diembuskan angin pagi yang semakin kencang. Mereka saling melirik, menunggu pembuka yang pas untuk memulai. Mereka tak ingin melepaskan perkataan yang tidak tepat, lalu menimbulkan perpecahan. Mereka berdiri dalam bujur sangkar, saling menimbang pemikiran satu sama lain.

Pak Ibrahim, dia adalah satu-satunya imam yang duduk pada waktu itu. Matanya sendu dan jarang berbicara. Sehelai sorban melilit tebal di leher hingga menutup setengah wajah. Dia sedang menyembunyikan mukanya sebab ia adalah pria tertampan di Surga. Dia begitu sempurna. Pak Ibrahim adalah Imam terkuat dan juga Imam tercerdas. Ia juga Imam yang paling paham tentang agama dan paling banyak disukai oleh anak-anak dan rekan-rekan. Tidak ada cacat dimilikinya sebab ia berasal dari Distrik Utara, satu-satunya penduduk yang masih hidup.

Pak Sabadri atau bisa dipanggil Pak Badri, dia adalah Imam raksasa yang memimpin pertemuan tadi. Dia adalah tentara berfisik paling besar. Tingginya dua meter, sama dengan Sodom dan Iblis. Dia adalah pejuang tertangguh dari Distrik Timur, yang terkuat dari yang terkuat. Meski begitu, ia tak mampu menggeser Pak Ibrahim dari posisi tentara terkuat sebab kecerdasannya. Keduanya berumur sama, 45 tahun. Namun, Pak Sabadri tampak lebih awet muda dengan muka berkumis tipis, rutin dicukur. Kulit coklat yang kasar bak tentara tangguh menghampar garang. Apalagi senapan laras panjang yang melingkar di punggung. Dia benar-benar tentara semasa Surga masih belum terbentuk.

Pak Luth, dia Imam berperawakan paling normal di antara keempat Imam lain, hampir sama seperti Pak Ibrahim hanya saja lebih pendek dua centimeter. Pak Luth gemar tersenyum dan punya adab sopan santun yang tinggi. Ia memang orang Distrik Selatan yang masih memegang teguh tradisi, terutama dari humor yang sering dilontarkan tak mengenal waktu. Meski begitu, dia sangat sayang kepada putri semata wayangnya di usia 35 tahun ini. Dia dulu pernah mematahkan sebilah pedang hanya dengan tendangan sebab putrinya hendak diculik. Ia adalah jawara taekwondo. Terpampang jelas dari sabuk hitam yang selalu melingkar di pinggang dan kuncir rambut di belakang kepala.

The Servant and The Nineteen Wardens of HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang