7 | Bully & Dummy

109 17 7
                                    

AJUDAN bersedekap di ujung lorong, menyeringai.

Bukannya Pak Goldy yang memintaku kemari? Tapi, kenapa ajudannya yang mengerikan di sini? Wafir menggaruk tengkuk dan menggelegak ludah. Ia melongok ke luar jendela. Tidak ada siapa-siapa. Ia mengecek ponsel, membaca ulang pesan dari nomor tak dikenal, mengaku sebagai Pak Goldy. Bunyinya:

Wafir, nanti sebelum upacara, temui aku di aula Markas Jundun untuk mengobrol sebentar tentang utang-utangmu.

Kalau kamu belum tahu, tentara berbakat yang ditempatkan di Distrik Pusat disebut Jundun. Mereka adalah 50 tentara terbaik Surga yang akan dilatih untuk menjadi Imam di masa depan. Sepertiku, mereka akan menjadi lima pemimpin tentara Surga yang disebut Imam.

Markas Jundun ada tengah Distrik Pusat. Aulanya berada di tengah kompleks, gedung tertinggi. Datanglah pagi-pagi buta.

- Goldy

Wafir menepuk dahi. Aku rasa, dia telah mengerjaiku. Mana mungkin Pak Goldy memiliki nomor teleponku.  

"Hei, kau!" Ajudan mendongakkan kepala. Suaranya berat seperti komandan perang. "Tunggu apa lagi, Pak Goldy menunggumu." Dia memasuki aula.

Apa ini benar? Wafir gemetar. Pak Goldy bisa saja benar ada di sana. Tentang utang, aku tidak berani bermain-main dengannya. Sekarang jumlahnya sudah membengkak sekitar 1,5 miliar untuk sewa apartemen Jundun dan kebutuhan akademi. Ketakutanku pada utang jauh lebih besar ketimbang ketakutanku pada ajudan raksasanya. Wafir masuk ke aula. 

Bau kayu sangat pekat. Warna kuning kecoklatan memenuhi pandangan. Ruangan seluas lapangan basket menyambut Wafir. Podium berundak memancang di seberang jendela-jendela tinggi. Langit-langit melayang lima meter di atas tanah. Setiap langkah menciptakan decitan. Aula bergaya tradisional ini disulap modern. Wafir terperangah, tetapi tidak lama. Ia sadar.

Tidak ada Pak Goldy di sana.

Ray menutup pintu aula. Ia bersedekap seraya menyandarkan lengan ke kusen. Lengan berotot mengancam Wafir.

Ia tinggi besar seperti Kapten Amerika. Rambut hitam bergelombang mengembang. Wajah ditumbuhi berewok dan kumis tipis yang baru dicukur. Singlet hijau loreng ketat mengecap ukiran tubuh kokoh nan bidang. Otot biseps dan triseps mengapit bulu ketiak lebat. Celana joger hitam menutupi kaki yang keras, bulu mencuat sejengkal di atas mata kaki. Ia tak mengenakan alas, mengetuk-ngetuk lantai dengan tumit.

"Kau ke sini mencari siapa, huh?" Ajudan memutar bola mata.

"P-Pak Goldy." Wafir terbata. Aku tak suka setiap bertemu dengan ajudan ini. Aku seperti mangsa yang siap diterkam oleh singa ketika berada di dekatnya.

Ajudan tersedak tawa. Ia melangkah ke tengah lapangan, tepat di tengah garis lingkaran kuning. Memantulkan kilau mentari, lantai memantulkan ketukan kaki ajudan. Bayangan menutupi bias dari kaca-kaca besar. Langit-langit melengkung menegangkan suasana. Tidak ada siapa-siapa di sana selain mereka berdua: Wafir dan ajudan.

"Maaf, di mana Pak Goldy?" gumam Wafir.

Ajudan mengakak. "Tidak ada Pak Goldy di sini. Yang ada adalah aku, Ray, tangan kanan Imam, sekaligus Jundun peringkat satu. Aku adalah Jundun terkuat di akademi ini!"

Wafir mengangguk. Terus kenapa? Apa hubungannya dengan mengundangku? Dan yang terpenting, di mana Pak Goldy? "Maaf, sepertinya saya salah ruangan."

The Servant and The Nineteen Wardens of HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang