35 | Ultimatum

36 8 1
                                    

TANGISAN masih terisak berkali-kali dan darah bersimbah di sepasang lelaki yang tertelungkup di pelataran istana.

Kala itu malam benar-benar kelam seperti sanggup melingkupi hati dari setiap sinar kebahagiaan. Tangisan keras yang memantik banyak penjaga istana berkumpul mendatangi kemunculan para Imam dan Jundun tiba-tiba menggema di Distrik Pusat. Mereka iba setelah menyaksikan Wafir dan Pak Ibrahim yang kacau, tetapi mereka terkejut ketika mendapati sosok pria tua yang tak asing. Malik I masih hidup.

Bersama lampu-lampu taman yang menuntun ke arah depan pelataran, sesosok pria berambut cukup panjang seleher dan janggut panjang keluar dari istana tergopoh, tetapi langkahnya mantap. Dia menyunggingkan senyum meremehkan, tetapi khawatir dengan keadaan yang terjadi setelah kepulangan para Imam dari Neraka. Dan panggilan lemah dari Muhammad yang melihat sosok pria itu, langsung mengalihkan perhatian semua orang.

"Arif." Itu Malik II, dan dia telah mendapatkan wujudnya kembali.

Arif menggeleng tak percaya seakan menyalahkan bapaknya. "Aku tidak percaya Bapak melakukan ini. Aku memang senang mendapatkan kembali wujudku setelah 19 bulan. Namun, Bapak tahu apa risiko yang akan terjadi."

Muhammad mengangguk pelan seraya menyorotkan tatapan horor. "Aku tahu persis apa yang harus terjadi."

"Bapak melenyapkan dinding pelindung Surga!"

Semua orang yang mendengar perkataan Arif, langsung terperanjat. Jika Surga tak memiliki dinding pelindung, penduduk akan terancam dengan serangan Penjaga Neraka tak lama berselang.

"Tapi, memang sudah waktunya. Kita sudah membuat gara-gara besar dengan Iblis dan begitu pula persiapan makhluk itu sudah selesai," sela Muhammad. "Tak ada gunanya lagi untuk membuat dinding pelindung Surga. Kita sendiri sedang berdiri di atas tanah Neraka. Iblis membangunnya di balik dimensi kita!"

Arif tak berani membantah. Jika keadaan telah berganti demikian, keputusan yang diambil oleh bapaknya tidak akan berpengaruh banyak. Karena itu, kini ia memilih untuk melupakan kekhawatirannya. Masalah yang terpenting saat ini adalah menolong Wafir yang bersimbah darah di mana-mana seperti iblis dan Pak Ibrahim yang terkoyak serta penuh luka.

"Lebih baik kita masuk dulu ke istana. Ceritakan apa yang terjadi di Neraka." Arif memegang pundak Wafir.

Wafir menggeleng. Ia masih memeluk Pak Ibrahim erat untuk menutupi muka sempurna milik pria terkuat di Surga itu. "Tidak perlu mempedulikan aku. Lebih baik, kita harus menolong Pak Ibrahim terlebih dulu. Beri beliau sorban, pakaian, dan pertolongan pertama. Dia terluka dari pertarungan di Neraka."

Arif mengangguk. Ia paham maksud Wafir dan memilih semuanya beres terlebih dahulu, lalu semua orang bisa masuk ke aula istana dengan tenang. Setidaknya, mereka bisa berpikir jernih di ruang pertemuan untuk membicarakan apa saja yang sudah terjadi dan rencana apa yang harus diambil dalam menghadapi serangan yang akan diluncurkan Iblis.

Satu jam berlalu.

Aula yang semula kosong, diisi oleh meja rapat yang panjang. Gemerlap emas dan berlian berpendar dari lampu-lampu yang menggelantung di atap setinggi gedung dua lantai. Mereka berkumpul di sekeliling Arif sebagai Malik II. Di sampingnya, Muhammad duduk sebagai bapak dan Malik I. Di samping-sampingnya, Wafir dan Pak Ibrahim duduk sebagai perwakilan orang Utara. Di sisi Wafir, lima besar Jundun terduduk, sedangkan di sisi Pak Ibrahim, para Imam berjajar. 

"Aku turut berduka setelah mendengar kematian seluruh putramu, Imam Ibrahim. Maafkan kami juga karena tidak bisa menolong mereka meskipun hanya jasadnya saja. Semoga Tuhan memberikan balasan yang terbaik untuk mereka," hibur Arif. Ia mengenakan baju dinas Surga serba putih dengan keadaan rambut terikat dan jenggot yang sudah tercukur, meninggalkan kumis tipis.

The Servant and The Nineteen Wardens of HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang