29 | The Furthest North

37 10 2
                                    

"Mengapa kau membawa kami kemari?!" bentak Diyah.

"Mohon diam. Mbak ada di depan Imam Ibrahim." Khrisna turun dari punggung Kon.

"Diyah benar. Kali ini, aku ingin penjelasan tentang semuanya. Ke mana Imam Ibrahim menghilang dan yang terpenting. Mengapa kau menculik kami berlima?" Ray maju ke barisan terdepan untuk menghadap Pak Ibrahim.

Khrisna langsung menghalanginya. Ia serius dan tak ada gurat senyum sama sekali di wajah. "Saya mohon dengarkan saya. Kita tidak akan langsung terburu-buru malam ini. Jika ada yang ingin ditanyakan, mari dibicarakan besok pagi."

"Khrisna benar," sahut Wafir. "Sebaiknya kita menurut dan menunggu jawabannya besok pagi."

Hingga semua orang lebih percaya kepada Wafir. Mereka akhirnya mau bungkam. Khrisna pun mengantarkan mereka ke kamar tidur tamu. Sebenarnya, kecurigaan mereka tidak ada salahnya. Bagaimana pun juga, Pak Ibrahim terlalu menutup diri, bahkan ia langsung pergi ketika telah membawa Wafir dan teman-temannya setelah keluar dari portal. Meski begitu, Khrisna sudah menemukannya yang penting.

Wafir hanya harus memikirkannya. Dalam tidur yang penuh pertanyaan, termasuk bazoka yang berbentuk sniper seukuran setengah tubuh pria dewasa.

***

FAJAR menyingkap di mana portal bermuara.

Di antara kegelapan yang perlahan ditembus sinar jingga mentari di cakrawala, pondok kayu bak gabungan dojo (rumah latihan berpedang tradisional Jepang) dan rumah panggung muncul perlahan. Bunyi debur ombak memanggil-manggil samar dari bibir pantai, termasuk gesekan nyiur dan pantai pasir putih. Ketika pori-pori kulit digesek oleh angin laut yang deras, baru sadarlah semua orang, mereka berada di tengah pulau.

Setelah subuh, Wafir dan teman-temannya berkumpul di ruang tengah. Mereka berbaris bersila di belakang Pak Ibrahim yang memunggungi. Khrisna hanya bersandar di sisi pintu seraya memegangi dada. Ia belum pulih sepenuhnya. Di sampingnya, Kon tertidur berpangku paha sang pemilik.

Tergesa-gesa, mereka tidak punya waktu untuk menunggu dan terseret arus rencana tanpa penjelasan. Penduduk Distrik Timur sedang terkurung di dalam kubah berlian yang diciptakan Wafir. Ditambah lagi para Penjaga Neraka yang masih menunggu di perbatasan, termasuk Khamar yang masih hidup entah bagaimana meskipun Wafir sudah meledakkannya.

Diyah membuka percakapan. "Imam Ibrahim—"

Ray menghentikannya. Dia sangat paham, Diyah memang lancar dan cerdas dalam berbicara, tetapi dia belum tahu Pak Ibrahim adalah orang terkuat dan dimuliakan di Surga. Karena itu, Ray akan berbicara dengan mempertimbangkan tata krama. "Imam Ibrahim, apakah kami sudah bisa menanyakan rencana Anda?"

Pak Ibrahim berbalik. Belum berbicara, ia sudah menguarkan aura menekan yang sangat dahsyat. Seperti mengintimidasi, tetapi menenangkan dan hangat. Matanya sangat teduh dengan dipayungi alis hitam tebal. Meskipun tidak bisa melihat wajahnya sebab surban putih-hitam kotak-kotak yang menyelimuti separuh muka, dia tahu persis sedang menularkan kesedihan dan kekhawatiran kepada para Jundun muda. "Apa yang ingin kalian dengar?" Suara Pak Ibrahim hangat, tenang, dan langsung merangkul dada. Sekujur tubuh semua orang pun merinding setelah mendengarnya.

"Pertama, mengapa Imam Ibrahim menghilang ketika Distrik Selatan diserang?"

"Kalian juga menghilang, kan? Aku pun menghilang dengan caraku sendiri. Aku kembali ke Distrik Utara, tempat tinggalku berada. Kalian bahkan tidak tahu di mana sekarang berada?"

Ray dan semua orang ikut menoleh ke arah luar, mendeteksi keberadaan mereka. "Maaf, kami tidak tahu. Hanya saja, kita berada di tengah pulau yang tidak kami ketahui letak persisnya."

The Servant and The Nineteen Wardens of HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang