22 | Passed Away

51 15 3
                                    

SOSOK YANG TELAH MATI kembali bangkit dari kubur.

Di bawah naungan langit Surga yang lain, deru amukan terdengar jelas dari tiap derap langkah. Seorang pria yang sudah lama dianggap tewas, menerjang kegelapan istana Malik. Tanpa ada penjagaan dari tentara yang menghilang dalam sehari, ia bebas menerjang pintu raksasa yang tertutup untuk menuju aula singgasana. Hanya ada warna hitam dan bau lilin yang menyala lenyap. Istana benar-benar kosong di kala sepertiga malam.

Pria itu tinggi kurus hampir dua meter. Rambutnya panjang dipenuhi uban yang mengecat kepalanya putih penuh. Meski tubuhnya renta seakan tengkorak yang berjalan, ia masih sanggup menghujam keramik istana hingga menggema. Sandal jerami yang seharusnya redam, malah memantulkan bunyi langkah ke setiap sudut. Dari sorot matanya, ia diselimulit kemurkaan. Beruntung ia mengenakan jubah putih kusam yang membalut dari dada hingga kaki. Kalau tidak, tentu ia akan menusuk bumi hingga meretakkan lantai.

Pria tua itu dibumbui kekalutan. Sejak Malik II menyuguhkan keputusan gila dengan mengorbankan seluruh tentara, termasuk Jundun dan Imam, mulutnya ingin sekali meloloskan segala umpatan. Meski ini semua adalah titik terburuk Surga, pria tua ini tidak habis pikir, bagaimana bisa penguasa Surga malah mengorbankan rakyat yang sedikit demi melindungi penduduk yang lainnya? Bukankah seorang raja harus tegas untuk membela semua warga yang tidak bersalah. Karena itu, dia kecewa.

Sebab pria tua ini adalah Malik I.

Dia Muhammad.

Ayahanda dari Malik II yang telah menurunkan keputusan gila sudah tiba. Sang pendiri Surga dan juga musuh bebuyutan dari bapak para Penjaga Neraka. Dia musuh Iblis. Dia sosok yang memagari Surga dengan kekuatannya. Penjaga Neraka yang tidak tunduk bersujud kepada penunggu jurang kegelapan. Yang telah menghilang sejak 19 bulan lampau, kini kembali bagai tak pernah terkubur di dalam liang lahat.

Di benaknya, ia malah ingin memendam sang putra jauh-jauh di dalam tanah. Hingga Muhammad sampai di aula singgasana. Sekeliling gelap, hanya sinar rembulan yang membias dari jendela lebar bertaburkan mozaik putih. Ia berdiri menarik urat-urat menghadap kursi emas kosong. Tidak perlu diberi tahu, dia tahu sang putra ada di sana meskipun di hadapannya tak berwujud apa-apa.

"Demi Tuhan, apa yang sudah kau lakukan!" teriak Muhammad, menggema ke seluruh penjuru istana.

Sontak dua bola mata dan selapis bijir membuka dari udara tipis, melayang di atas singgasana. "Ah, Ayahanda."

"Demi Tuhan, jawab aku!"

"Seharusnya Ayahanda yang menjawabku sebab bagaimana bisa engkau meninggalkanku padahal engkau masih hidup dan segar bugar hendak memenggalku di usia senjamu?"

"Jangan pura-pura bodoh kau!"

"Tidak, tidak, bukannya aku memang bodoh dengan mengumpankan seluruh bala tentaraku demi melindungi Surga. Jika yang menjadi Malik adalah Ayahanda, tentu Surga tidak akan berada di ambang kehancuran seperti ini. Oh, aku ingat! Bahkan, Ayahanda meninggalkan Surga dengan berpura-pura tewas, kan?"

"Tutup omong kosongmu!"

"Aku tidak membual, Ayahanda. Demi Tuhan, aku benar-benar tidak menahu engkau masih hidup! Bahkan, jika itu bukan suara rentamu yang berteriak di sepertiga malam, aku tidak akan repot-repot bangun dari ranjang dan datang memunculkan diri."

Muhammad terdiam. Ia tak berani menghakimi sang putra yang sudah bersumpah atas nama Tuhan. Suaranya pun berubah pelan. "Ya, Malik. Sesungguhnya, engkaulah yang memiliki kuasa sekarang, Nak. Bukannya aku. Maka, aku benar-benar menghormatimu untuk segala keputusan. Karena itu, aku meminta penjelasan."

The Servant and The Nineteen Wardens of HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang