25 | Fool Triumphant

27 12 1
                                    

FAJAR TERAKHIR di ujung tahun — 31 Desember 0020

Pak Badri datang hari ini. Berbeda daripada sebelum-sebelumnya. Ia berkeringat dan dipenuhi kusam. Matanya sembab seperti tidak tidur dalam beberapa hari. Meski begitu, tatapannya masih sama. Penuh dengan hinaan kepada orang-orang lemah. Ia berhasil menakuti Wafir dan Diyah dengan penampilan lusuh pada pagi hari ini.

Selain Pak Badri, pagi itu benar-benar berbeda. Di belakang Pak Badri yang diliputi seragam Imam yang berkibar, mewarnai fajar yang melukiskan rona jingga di langit gelap, orang-orang yang Wafir kenal menunggu dengan raut penasaran dan khawatir. Rika dengan berbekal anak panah, Ray dengan sarung tinju, Hasbie dengan trisula, dan para Imam yang menemani dengan tampang was-was serta ragu. Apa yang sedang direncanakan Pak Badri pada fajar akhir tahun, dia jelas sedang memikirkan sesuatu seperti ... ini akan menjadi kesempatan terakhir, begitu pikir Wafir.

Tanpa bersuara, Pak Badri mengirimkan kode dengan jempolnya untuk mengikutinya. Semua orang yang tadi menemaninya, juga ikut berpindah ke tempat yang Pak Badri inginkan. Pertarungan hari ini tidak akan dilaksanakan di taman tambang. Ia masuk ke dalam hutan yang dirimbuni pohon-pohon perdu. Menuju sebuah tempat yang mesti diketahui oleh Wafir dan Diyah, yang akan menjadi penutup dari tujuh hari di neraka yang sudah Pak Badri buat.

Hingga mereka semua berhenti di bagian kosong di tengah hutan. Mereka baru berjalan sekitar 2 kilometer dari bibir pantai dan kini menemui padang rumput yang dikelilingi hutan. Luasnya kecil, hanya setengah lapangan sepak bola. Cahaya matahari yang mulai meninggi, menyinari tempat tersebut amat jelas, apalagi dipayungi langit biru yang cerah. Hawa dingin di akhir tahun tidak terlalu terasa sebabnya. Tempat apa ini? Begitu tebak Wafir. Maksudnya, bagaimana mungkin ada suatu tempat yang enggan ditumbuhi pepohonan, kecuali pernah terjadi kebakaran di sana. Namun, tidak ada bekas hitam arang yang tertoreh.

"Ini adalah tempat yang tidak dilindungi oleh barier Malik I," buka Pak Badri. "Beginilah perbedaan suatu tempat yang diliputi berkah dan tidak."

"Mengapa Imam membawa kami kemari?" tanya Diyah, berjaga-jaga.

"Dulu, Malik I menghilang di tempat ini. Sangat-sangat mengecewakan, tempat ini pun kehilangan berkah." Pak Badri tidak menjawab pertanyaan Diyah.

"Apa maksudnya?"

"Tidak ada hubungannya dengan perkataanku sebelumnya. Namun, aku hanya ingin menyiksa kalian di tempat yang berbeda, yang semakin mendukung kekalahan pahit kalian. Lihatlah, para Imam dan Jundun sampai rela jauh-jauh kemari. Banyak penonton terhormat kali ini. Jadi, aku ingin mempermalukan kalian lebih besar lagi."

"Terserah."

Wafir langsung mengambil kuda-kuda tanpa membalas ocehan Pak Badri. Tatapannya serius, bahkan ia tak menggubris istrinya yang khawatir sedang berbisik-bisik mempertanyakan siapa itu Diyah. Mengapa dia bertarung bersama Wafir. Namun, kuda-kuda yang dipasang oleh Imam muda ini tidak seperti pertahanan biasa. Posisinya melayang dan tidak terlalu rendah. Seorang penyerang tak akan menjejakkan bentuk penguatan seperti ini. Wafir sedang merencanakan sesuatu, yang pasti ini ada hubungannya dengan percakapan kemarin.

Diyah pun paham. Ia mengangguk sendiri ketika menyaksikan persiapan yang Wafir lakukan. Ia mengambil kuda-kuda yang sama. Mereka memandangi Pak Badri seperti predator sekarang. Mereka tidak akan lagi menjadi mangsa. Beruntung sekali para Imam dan Jundun datang kemari sebab mereka akan melihat kemenangan yang nyata. Diyah bisa jadi diizinkan menjadi tentara dan Wafir akan dinobatkan menjadi Imam yang sesungguhnya. Lalu—!

"MULAI!"

Pak Badri meneriakkan aba-aba dan langsung melesat ke arah Wafir serta Diyah.

Wafir dan Diyah tidak bodoh seperti seminggu lalu dengan diam saja. Seperti dugaan, mereka langsung kabur ke luar arena pertempuran. Kuda-kuda melayang itu memang dipersiapkan untuk melecutkan larian sekencang-kencangnya.

The Servant and The Nineteen Wardens of HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang