بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Teror mama minta pulsa sudah berlalu, kini malah dilanjut dengan teror mama minta mantu."
⏮️⏸️⏭️
JARI-JARI yang semula bermain di atas keyboard terhenti kala mendengar suara pembeli yang ternyata sudah berada persis di depan saya. Wajahnya sudah masam, mungkin karena sedari tadi saya acuhkan sebab terlalu fokus menulis.
"Maaf, Teh. Belanjanya sudah?" tanya saya seramah mungkin.
"Dari tadi juga sudah selesai. Tinggal bayar doang. Kamu tuh kalau jaga toko jangan bawa laptop. Suka nggak fokus!" omelnya.
Mungkin lebih tepatnya terlalu fokus, sampai tidak sadar ada pembeli yang sudah memasang wajah garang.
Saya mengambil keranjang belanjaan yang ada di meja. Segera menghitungnya dan memasukan ke dalam kantung plastik. "Maaf atas ketidaknyamanannya, Teh. Totalnya Rp. 50.000,00."
Tak ada sahutan, hanya terdengar dengkusan kasar lantas berlalu pergi setelah membayar serta mengambil barang-barangnya.
"Kamu suka lupa dunia nyata, kalau sudah ngetik depan laptop, Tha," omel Mama yang baru saja muncul dari gudang.
Saya sedikit meringis. "Iya, maaf, Ma. Enggak lagi-lagi deh."
Selain menjadi penulis, keseharian saya ialah membantu Mama untuk menjaga toko sembako. Selagi menunggu pembeli, biasanya saya isi dengan menulis tapi kadang suka kebablasan dan asik sendiri seperti tadi.
"Emang kamu lagi ngetik apa sih, Tha? Perasaan baru kemarin kamu bilang kalau naskah kamu baru kelar," ujar Mama masih terlihat fokus menata beberapa barang yang sudah kosong dari display.
Saya pun menghampiri beliau, membantunya. "Lagi nulis kata-kata manis untuk video cinematic prewedding Hanin, Ma. Sudah dikejar waktu, A Hamzah nagih terus."
Mama manggut-manggut. "Nikahan Hanin minggu depan, kan?"
Saya mengangguk.
"Nak Hamzah legowo banget yah, Tha. Bisa ikhlas dilangkahin adiknya," ungkap Mama.
"Namanya juga jodoh, nggak ada yang tahu, Ma. Lagian Hanin itu, kan perempuan. Umur segitu memang sudah pas untuk menikah."
"Umur kamu juga sudah pas buat nikah. Terus kapan?"
"Kapan apanya?"
"Nikah."
"Nitha baru saja selesai wisuda, umur juga masih 22. Masih muda, Ma. Enggak usah buru-buru nikah."
"Kalau di kampung umur segitu sudah punya anak dua, Tha. Kamu jangankan punya anak, pasangan saja nggak ada," sarkas Mama.
"Masih otw, Ma. Aa lauhul mahfudz masih coming soon, belum di-launching," jawab saya asal.
"Launching dikira buku kali. Kamu ini bercanda terus kalau Mama bahas soal mantu."
Tanpa dosa saya malah tertawa.
"Daripada nunggu yang nggak pasti, mending sama yang ada depan mata aja, Tha," cetus beliau setelah menyelesaikan kegiatannya.
"Maksud Mama?"
"Sama Nak Hamzah. Mama sudah cocok, sudah kenal baik juga sama keluarganya. Emang kamu nggak suka sama Nak Hamzah?"
Saya meneguk ludah susah payah. Pertanyaan macam apa itu? Saya jelas tidak bisa menjawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...