بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tampil seolah baik-baik saja itu susah. Jadi, tak usah menyudutkan seakan itu merupakan perkara mudah."
⏭️⏸️⏮️
KEGUGUPAN sangat jelas sama-sama kami rasakan. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan, padahal saat ini kami sedang berada di dalam ruangan yang sama. Hanya berdua.
Saya duduk di depan cermin, sedangkan Mas Dipta berdiri tepat di belakang saya. Pandangan kami saling terkunci menatap bingkai diri di depan sana.
"Mas."
"Zani."
Kami kembali terdiam, setelah secara bersamaan saling memanggil satu sama lain. Entah kenapa lidah ini terasa kelu untuk berujar.
Mas Dipta memutar kursi yang saya tempati, lantas dia berjongkok di depan saya.
"Berdiri, Mas," cicit saya pelan.
Dia malah menggeleng dan tetap bertahan di posisinya.
Sekilas saya melihat dia tersenyum. "Boleh saya buka niqab-nya?"
Tak kuasa untuk menjawab, saya pun memilih untuk mengangguk.
"Boleh saya tahu, kenapa Zani memutuskan untuk memakai niqab pada saat akad?"
Saya menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berucap, "Ini adalah kali pertama saya berhias, dan saya ingin hanya Mas yang bisa melihatnya. Apa Mas merasa keberatan?"
Tangannya yang hendak membuka tali niqab terhenti. Dia mengangkat dagu saya agar menatap ke arahnya. "Tentu saja tidak. Saya justru merasa dihargai dan dihormati karena kamu begitu pandai menjaga diri. Tapi ada satu hal yang saya sayangkan."
"Apa Mas?"
"Memakai niqab itu bertujuan untuk menyembunyikan kecantikan, tapi yang saya lihat dari kamu justru sebaliknya. Kamu semakin terlihat cantik dengan balutan kain suci itu."
Saya kembali menunduk, berusaha untuk menyembunyikan semburat merah di pipi. Rasanya wajah saya sudah sangat panas.
Mas Dipta menarik lepas niqab yang saya kenakan. Saya hanya bisa diam, menikmati debaran di dada yang kian meronta dengan begitu hebatnya.
"Berkenankah kalau sekarang kita menunaikan salat hajat?" tanyanya.
Saya mengangguk singkat. "Wudu saya sudah batal karena bersentuhan dengan Mas. Saya izin untuk menghapus make up-nya untuk berwudu."
Dia bangkit berdiri. "Biar saya bantu."
Dengan telaten dia mengambil sebuah kapas dan micellar water, lantas mulai menyapukan benda itu pada wajah saya.
"Selesai," katanya dengan dihiasi senyum mengembang.
"Terima kasih."
Dia mengangguk. "Zani bisa wudu lebih dulu, biar saya yang siapkan peralatan salatnya."
Saya menurut tanpa banyak membantah.
Benar saja, sekembalinya dari kamar mandi. Dua sajadah sudah tergelar. Sajadah yang biasanya terhampar seorang diri, kini ada yang mendampingi.
Saya pun bergegas untuk memakai mukena. Berdiri tegak seraya menunggu Mas Dipta. Saat dia sudah kembali dan berdiri tegak di depan saya, suara takbir langsung terlantun indah dari sela bibirnya.
Dua rakaat salat hajat, lantas ditutup dengan empat rakaat salat duha. Saya merasa sangat beruntung, kami memulai biduk rumah tangga dengan sebuah ibadah sunnah. Ini adalah impian saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...