ETP | 49

218 36 5
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi. Maka dari itu pandai-pandailah dalam menyiapkan diri dan hati."

⏭️⏸️⏮️

DILEMA sudah seperti kawan akrab manusia. Dilanda kebimbangan di tengah sulitnya dua pilihan. Bukan hanya perihal perasaan diri sendiri yang dipikirkan, melainkan ada banyak pihak yang ikut berperan.

Sangat terkesan tak berperasaan jika saya memutuskan tidak melanjutkan pernikahan, hanya karena kehadiran sosok di masa lalu yang pernah saya tunggu-tunggu datang.

Namun, jika saya memilih untuk tetap melanjutkan. Saya telah menghancurkan hati seseorang yang selama ini menemani saya berproses, dan selalu ada mendampingi saya di segala situasi.

Saya terlalu jahat padanya, manusia yang tidak tahu terima kasih.

Apa yang harus saya putuskan?

"Godaan menuju pernikahan itu memang luar biasa, Tha. Yang semula yakin bisa mendadak ragu, hanya karena hadirnya sosok di masa lalu. Mama tahu apa yang saat ini kamu rasakan dan pikirkan. Mama akan dukung apa pun pilihan kamu."

"Mungkin akan lebih baik Nitha nggak memilih keduanya."

Lirikan maut langsung saya dapat dari beliau.

"Allah kasih dua kandidat yang berbobot untuk kamu, Tha. Harusnya pilih salah satu, bukan malah golput!"

"Kalau seperti itu, sama saja Nitha menyakiti hati salah satu dari mereka. Apalagi mereka berteman baik, apa tidak rusak hubungan mereka kalau Nitha sampai menikah dengan salah satunya?"

"Sekali-kali cobalah pikirkan dahulu perasaan kamu. Jangan yang diprioritaskan perasaan orang lain terus. Kamu hidup, bukan untuk menyenangkan hati semua orang!"

"Lantas Nitha harus apa, Ma?"

Beliau menatap saya begitu lekat. "Yang membuat kamu mendadak ragu pada Nak Dipta, karena tahu cincin pemberian Nak Hamzah dua tahun lalu, kan, Tha?"

Saya terdiam, tak kuasa untuk menjawab.

"Jika kamu tahu dari awal, meskipun Nak Hamzah nggak meminta kamu untuk menunggu, kamu pasti akan melakukannya. Bukan begitu?"

Lagi-lagi saya terdiam.

"Kamu kecewa sama Nak Hamzah yang memilih untuk merahasiakan hal yang kamu anggap besar dan penting. Namun, kamu lupa kalau cincin itu nggak sesakral cincin lamaran yang telah Nak Dipta sematkan."

"Nak Hamzah memang berani melakukan hal tersebut langsung pada Mama. Tapi, apa yang dia lakukan tidak sebanding dengan effort yang sudah Nak Dipta berikan. Dia datang dengan sebuah kepastian, lamaran. Bahkan Nak Dipta pun datang tidak sendiri, dia memboyong orang tua dan keluarganya."

"Pikirkan baik-baik, jangan mengambil keputusan di saat hati kamu belum benar-benar tenang dan yakin. Salah memilih sepatu, menyesalnya hanya satu dua hari. Tapi, salah memilih pasangan, menyesalnya seumur hidup."

"Jahatkah kalau seandainya Nitha memilih tetap melanjutkan pernikahan?"

Beliau menggeleng pelan. "Ini bukan hanya tentang jahat atau tidaknya, tapi lebih pada konsekuensi. Di saat Nak Hamzah memutuskan untuk merahasiakan ihwal cincin yang dia berikan, itu artinya dia harus menyiapkan hati kalau kemungkinan kamu dimiliki orang lain sangat besar."

"Kalau seandainya Nitha memilih untuk tidak melanjutkan pernikahan?"

"Itu namanya kamu sadis tak berperasaan. Yang kamu hancurkan bukan hanya Nak Dipta tapi juga orang tua dan keluarganya. Mama bicara seperti ini bukan bermaksud untuk condong pada salah satu pihak. Posisi Mama sebagai orang tua, dan Mama paham betul apa yang dirasakan oleh orang tua Nak Dipta kalau sampai pernikahan itu tidak benar-benar terlaksana."

Epilog Tanpa Prolog Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang