ETP | 50

250 38 5
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Tak jarang ada orang tua yang lebih mementingkan diri sendiri, bahkan gengsi yang dijunjung tinggi."

⏭️⏸️⏮️

SAYA termenung mendapati beberapa judul buku di atas meja, bahkan saking terkejutnya mulut ini kelu untuk bertutur kata. Baru sampai, langsung disuguhi pemandangan seperti ini, rasanya sangat penuh akan tanda tanya.

"Kamu suka baca buku, kan, Tha?" tanya Bu Dinara yang jelas langsung saya angguki.

"Ini ada beberapa judul buku yang memang diperuntukkan bagi pasangan yang akan menikah. Salah satunya ialah tentang fiqih pernikahan, dipelajari yah, Tha," terangnya.

"Mama meminta Nitha ke sini hanya untuk ini?"

Beliau mengangguk dan tersenyum.

Saya sedikit bernapas lega. "Nitha kira ada sesuatu hal yang urgent, Ma."

"Justru ini jauh lebih penting dari sekadar dekorasi, MUA, prewedding, ataupun catering. Anak zaman sekarang malah lebih sibuk mempersiapkan konsep pernikahan idaman, tapi mereka lupa mempersiapkan bekal untuk membangun rumah tangga idaman. Pesta satu dua hari dipikirkan dengan begitu matang, tapi untuk menjalani mahligai yang waktunya seumur hidup justru diabaikan. Apa tidak terbalik?"

Saya merasa ditampar dengan sangat telak. Merasa diri sudah cukup bekal, tapi nyatanya tidaklah demikian. Bahkan, hati ini mudah sekali goyah dan lalai.

"Buku-buku itu memang bukan baru, karena saya sudah lebih dulu membaca dan mempelajarinya. Bukan maksud memberi bekas pakai, tapi akan mubazir kalau ada yang masih layak tapi tidak dipergunakan dengan bijak," ungkap Mas Dipta yang baru saja ikut bergabung.

Saya mengangguk setuju.

Sedikit merasa canggung, karena ini adalah pertemuan pertama setelah kejadian satu minggu lalu. Namun, dia terlihat masih sama, biasa-biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa. Sesantai itukah?

"Baju untuk akad yang Mama pesan beberapa waktu lalu sudah datang. Dicoba dulu, siapa tahu kekecilan atau kebesaran," ungkap beliau seraya menyerahkannya.

"Nanti Nitha coba di rumah."

"Kenapa nggak sekarang? Di sini?"

Saya membulatkan mata dan meneguk ludah susah payah. Saya tidak seberani itu untuk melakukannya, terlebih di depan Mas Dipta.

"Ukurannya memang custom, sesuai request tapi tetap harus dicoba untuk memastikan apakah semuanya sudah sesuai dengan yang kita pesan atau tidak."

"Jangan dipaksa kalau memang Zani keberatan," cegah Mas Dipta ikut angkat suara.

"Nitha coba yah, Ma. Boleh numpang ke kamar mandi sebentar?"

Senyum beliau seketika mengembang. "Kenapa harus di kamar mandi, di kamar kamu saja. Mama sudah siapkan kamar untuk kamu dan Dipta nanti, setelah kalian sah menikah."

Saya sampai dibuat terbatuk-batuk saking gugupnya. Bahkan, bukan hanya saya saja, Mas Dipta pun terlihat salting dengan mengeluarkan deheman.

"Ini untuk Besan, bisa langsung coba pakai," cetus Bu Dinara pada Mama.

Mama menerimanya tak kalah antusias. "Terima kasih, Bu."

Tidak ada konsep tertentu yang kami usung, hanya sekadar mempersiapkan pakaian yang seragam supaya enak dipandang. Begitupun dengan baju akad, hanya sekadar baju kurung yang dilengkapi veil, serta crown sederhana yang sengaja Bu Dinara pesan dari kenalannya.

Epilog Tanpa Prolog Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang