بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Menikahlah dengan tujuan untuk beribadah, bukan hanya karena takut dia diambil orang lain."
⏭️⏸️⏮️
PADA akhirnya saya memutuskan untuk menjalani proses ta'aruf terlebih dahulu. Waktu yang semula saya minta enam bulan, dipangkas hanya menjadi tiga bulan. Para orang tua khawatir akan menimbulkan fitnah jika terlalu lama menapaki tahap perkenalan.
Selama ta'aruf berlangsung pun saya dan Mas Dipta berusaha untuk saling menjaga, baik dari segi pertemuan ataupun komunikasi. Semuanya benar-benar dibatasi.
Acara khitbah malam ini hanya dihadiri keluarga inti. Kami bersepakat untuk menggelarnya secara sederhana serta diam-diam saja. Bukan tak ingin ada yang mengetahui, tapi baik saya maupun Mas Dipta memang menginginkan acara seperti ini.
Sembunyikanlah lamaran dan umumkanlah pernikahan. Itu adalah prinsip yang kami pegang teguh.
Saat Bu Dinara hendak memasangkan cincin, beliau mengurungkan niat. Mengabaikan tangan saya yang sudah sangat siap menerima benda berbentuk lingkaran tersebut.
Kening saya mengernyit kala Bu Dinara mengambil sebuah benang lantas mengikatnya di jari manis.
Beliau mengukir senyum lalu berkata, "Dipasangnya sama Dipta yah, Tha. Nggak sentuhan, kok."
Mata saya membulat sempurna. Seniat itukah beliau?
Tangan Mas Dipta dituntun untuk mengangkat benang yang ujungnya sudah terikat di jari, membentangkan benang tersebut lantas memasukkan cincinnya hingga meluncur bebas dan bertengger apik di jari manis.
Suara hamdalah seketika menguar. Akhirnya saya bisa bernapas lega.
Definisi lamaran syar'i tanpa bersentuhan yang sesungguhnya. Entah mendapatkan ide dari mana, beliau sampai kepikiran hal semacam ini.
Bu Dinara memeluk saya begitu hangat. "Sekarang sudah semakin resmi, kamu jadi Calon Menantu Mama. Semoga dilancarkan sampai hari pernikahan nanti yah, Tha."
Saya membalas rengkuhannya. "Aamiin, Bu."
"Panggil Mama, sama Calon Mertua juga. Memangnya Mama ini pejabat, sampai dipanggil Ibu segala," protesnya saat pelukan kami terurai.
Saya hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan.
"Nak Dipta, ini baru lamaran. Tetap harus bisa saling menjaga jarak, jangan sampai proses menuju pernikahan ternodai. Mama titip Zanitha, yah," ujar Mama.
"Insyaallah, Bu."
Setelah prosesi pemasangan cincin, dilanjut dengan pembahasan tanggal. Di mana bulan depan insyaallah pernikahan akan digelar.
"Semuanya sudah sepakat, akad akan dilangsungkan pada tanggal 20 November 2023," ujar Pak Nara diangguki oleh kami semua.
"Untuk maharnya bagaimana, Zani?"
Saya berdehem sejenak. Berusaha untuk tetap tenang, padahal gemuruh dalam dada sudah kian meronta. Baru ditanya mahar, deg-degannya minta ampun.
Sangat payah sekali saya ini!
"Bagaimana, Tha?" ulang Bu Dinara.
"Disesuaikan dengan tanggal pernikahan saja, mau berupa uang ataupun perhiasan. Tapi, saya minta jangan pakai seperangkat alat salat pada saat ijab," jawab saya pada akhirnya.
Seperangkat alat salat sebagai mahar bukan hanya perkara tempelan, tapi kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban.
Akan sangat berdosa jika mahar tersebut tidak digunakan untuk beribadah. Saya hanya ingin menjaga, karena saya tahu kapasitas diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...