بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jika cinta dijadikan alasan utama untuk membangun sebuah mahligai, percayalah itu tidak akan lama, hanya sementara."
⏮️⏸️⏭️
KITA tidak akan pernah tahu sepenting apakah nilai seseorang jika belum merasakan sakitnya ditinggalkan. Kerapkali kita abai kala masih ada, tapi di saat sudah pergi barulah terasa.
Itulah mengapa, orang yang meninggal dunia lebih banyak menerima karangan bunga. Sebab, rasa penyesalan selalu datang belakangan.
"Anggap pertemuan ini tidak pernah terjadi, sebab saya tidak ingin menghadapkan kamu dalam posisi yang sulit. Zani, kamu tak perlu ambil pusing akan permintaan Ibu saya tadi."
"Saya tidak ingin memaksa, dan membuat kamu harus terjebak dalam situasi yang tidak kamu inginkan. Saya memang melamar kamu tapi kamu tolak, dan saya sangat menerima hal itu. Jangan sampai kamu berpikir untuk merubah keputusan hanya karena rasa iba melihat kesehatan Ibu saya."
"Kenapa Mas Dipta sampai memiliki pemikiran seperti itu?"
Dia sedikit tersenyum. "Kebanyakan perempuan menggunakan hati dan perasaan, hingga mereka kerapkali lupa bahwa ada yang namanya logika. Saya tak ingin membuat kamu menyesal di kemudian hari. Mahligai yang dibangun dari rasa iba serta menjadikan orang tua sebagai alasan utama, pasti akan terasa berat dalam menjalaninya."
"Apakah lamaran yang Mas Dipta layangkan ada sangkut-pautnya dengan Bu Dinara?"
Sebuah gelengan tegas dia berikan. "Lamaran itu murni keinginan saya, tidak ada andil Mama di dalamnya."
"Sedikit saya jelaskan, agar Zani tidak salah paham. Bisa dibilang Ibu saya cukup sering menghadiri kajian, suatu waktu beliau pulang dengan wajah berseri-seri dan mengatakan pada saya, kalau beliau sudah menemukan seseorang yang pas untuk saya peristri."
"Dengan bangganya beliau menunjukkan foto Zani, yang hanya tampak samping dan sedikit buram. Beliau begitu antusias. Apa kamu ingat saat saya menunggu di anak tangga? Di hari itu saya hendak membicarakan hal ini. Namun, karena satu dan lain hal, tidak kesampaian."
"Beliau meminta saya untuk membawa kamu ke rumah, tapi saya belum memiliki keberanian lebih. Saya pun tidak memberitahu Mama kalau saya sudah cukup lama mengenal kamu, karena saya tidak ingin membuat beliau menaruh harapan lebih, baik pada saya ataupun kamu."
Mas Dipta sekilas menoleh ke arah saya. "Sampai akhirnya saya merasa mendapatkan momen untuk melamar kamu, di Garut minggu lalu. Tapi qodarullah penolakanlah yang saya dapat, dan sampai sekarang saya belum bisa mewujudkan permintaan Mama. Maka dari itu saya meminta tolong pada Zani, sekiranya bisa datang ke rumah sakit, hanya untuk sekadar menemui beliau."
"Tidak ada sedikit pun maksud dan tujuan, apalagi sampai menyudutkan Zani dalam keadaan sulit. Saya hanya ingin mengabulkan keinginan Mama untuk mempertemukan kamu dengannya, tidak lebih, tidak kurang."
"Apa Mas Dipta menaruh atensi lebih terhadap saya?"
"Apa perlu saya menjawabnya?"
Seketika rasa gugup datang, mengapa pertanyaan singkat itu malah berdampak tidak baik untuk kinerja jantung saya.
Ini sudah tidak benar!
"Diam, itu artinya kamu membutuhkan jawaban," cetusnya setelah beberapa saat berkawan geming.
"Tidak etis rasanya jika saya mengumbar kata-kata cinta sebagai alasan, karena itu bisa menciderai harga diri kamu sebagai perempuan. Saya ingin membangun rumah tangga bervisi surga, dan saya rasa kamulah orang yang tepat untuk mewujudkannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...