ETP | 48

229 38 14
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Hidup memang penuh dengan teka-teki dan tragedi. Tak perlu ada yang disesali, cukup benahi."

⏭️⏸️⏮️

TIDAK pernah terbayangkan sedikitpun berada di posisi seperti sekarang. Bahkan, hanya untuk sekadar memikirkannya pun diri ini enggan. Kondisi yang benar-benar sulit, terlebih dua orang yang kini duduk saling berhadapan merupakan kerabat baik.

Saya tidak sejahat itu untuk menghancurkan pertemanan di antara keduanya. Saya masih memiliki hati, meskipun saat ini hati saya tengah porak-poranda.

"Saya tidak tahu, kalau perempuan yang tadi saya lamar ternyata sudah terikat dengan kamu, Ham."

Kalimat pembuka itu sudah membuat dada saya berdebar.

"Saya hanya mengikatnya secara sepihak, tidak melibatkan Zanitha di dalamnya. Apa yang saya lakukan tidak sesakral acara khitbah yang telah kalian laksanakan."

Mas Dipta melirik sekilas ke arah saya. "Keputusannya ada di kamu, Zani. Kamu berhak untuk memilih, mau tetap melanjutkan pernikahan dengan saya atau memilih bersama Hamzah."

Saya terdiam cukup lama. Memikirkan kosakata apa yang hendak saya ungkapkan agar tidak melukai salah satu di antara keduanya.

"Nak Dipta, Nak Hamzah, mohon maaf kalau keadaan ini menghadirkan ketidaknyamanan. Mama selaku wali Zanitha memohon maaf yang sebesar-besarnya."

"Dua tahun lalu, Nak Hamzah mendatangi Mama memberikan sebuah cincin yang ditujukan untuk Zanitha. Cincin itu diikrarkan bukan sebagai simbolis lamaran, melainkan hanya sekadar pengikat dan juga penjagaan. Bukan begitu Nak Hamzah?"

Hamzah pun mengangguk mantap.

"Nak Hamzah pun mengatakan kalau memang ada seseorang yang datang dan hendak melamar Zanitha, cincin itu nggak memiliki hak lagi untuk digunakan. Dalam artian, tugas cincin itu sudah selesai."

Kini Mama beralih menatap Mas Dipta. "Khitbah yang tadi dilaksanakan sah, Nak Dipta. Sebab, lamaran yang Nak Dipta layangkan, bukan di atas lamaran Nak Hamzah. Karena memang dari sejak awal pun Zanitha belum pernah dipinang."

"Yang perlu diluruskan sekarang, hanyalah tentang perasaan kalian masing-masing. Agar ke depannya tidak terjadi kesalahpahaman," tukas Mama.

"Tha, saya tahu kehadiran saya bukanlah di waktu yang tepat, bahkan mungkin tidak kamu harapkan. Saya cukup sadar diri, saya nggak mau menjadi duri di antara hubungan kalian. Terlebih, pernikahan kamu dan Dipta pun sudah di depan mata, kan?"

"Benar apa yang kamu bilang, kisah kita bak epilog tanpa prolog. Saya mencoba untuk lebih bijak dalam menyikapi takdir, kalau memang cerita kamu dan saya sudah berakhir."

Terdengar helaan napas berat. "Ma, maaf kalau tindakan Hamzah di masa lalu malah menghadirkan masalah baru. Hamzah juga minta maaf kalau sekiranya sudah memberi Mama harapan semu."

Mama mengangguk pelan. "Mama harap, Nak Hamzah bisa berdamai dengan takdir. Terkadang, Allah menghancurkan rencana kita, bukan karena Dia ingin benar-benar menghancurkannya. Melainkan ingin menggantinya dengan yang lebih baik."

Setetes air mata kembali meluruh. Sebagus apa pun kata-kata, kalau memang tidak sesuai dengan harapan pasti akan menyakitkan.

Begitupun dengan pemilihan kosakata Mama, meskipun terkesan bijak dan sopan. Tapi, saya yakin akan tetap melukai perasaan Hamzah.

Hamzah berdehem pelan. "Schedule saya masih longgar, kemampuan saya dalam mengabadikan momen bahagia pun masih cukup bisa diandalkan. Kapan kiranya saya diajak kerjasama?"

Mendengar hal tersebut saya malah terisak. Saya tidak suka melihat kepura-puraan yang dia tunjukkan. Saya merasa sangat amat bersalah padanya.

Saya sudah men-dzoliminya dengan sangat terang-terangan.

"Ham," seru Mas Dipta.

"Ya?" sahutnya seraya mengukir senyum lebar.

"Maafkan saya."

Hamzah malah terkekeh pelan, dan menghampiri Mas Dipta lalu merangkul pundaknya tanpa rasa sungkan. "Saya ikut bahagia, melihat dua sahabat baik saya akan menikah. Nggak ada yang perlu dimaafkan, karena memang inilah yang dinamakan dengan takdir."

"Saya ini hanya peran ketiga, cameo yang melengkapi kisah kalian. Kalau pertemuan dulu bertujuan untuk meminang naskah, sekarang justru meminang penulisnya. Saya ikut ambil bagian dalam perjalanan kalian," imbuhnya diakhiri dengan sebuah sunggingan.

Saya akui Hamzah sangatlah pandai dalam bersikap. Dia begitu piawai menyembunyikan kesakitan, seolah tidak ada yang perlu dirisaukan. Bahkan, sekarang dia lebih banyak menebar senyuman.

"Saya harus pulang sekarang, Mama dan Ayah pasti menunggu kepulangan saya," ujarnya kemudian.

Dia langsung berdiri, menjabat tangan Mas Dipta lalu kembali memeluknya. "Saya titip Zanitha, saya percayakan dia sama kamu. Dia sudah saya anggap seperti adik saya sendiri, jangan sakiti dia."

Setelah pelukannya terlepas, dia beralih menatap saya. "Rawat baik-baik sahabat saya yah, Tha. Saya doakan agar pernikahan kalian diberkahi Allah. Insyaallah sakinah mawadah warahmah."

"Mama, Hamzah pulang dulu. Alhamdulillah sebentar lagi cita-cita Mama untuk mendapatkan mantu akan terwujud. Hamzah ikut bahagia," tuturnya terlihat berkaca-kaca.

Saya tahu dia terluka kala harus dipaksa melontarkan kata-kata baik, padahal hatinya sedang hancur lebur.

"Assalamualaikum."

Salam itu menjadi penutup, dia benar-benar menghilang di balik pintu yang kembali tertutup.

"Wa'alaikumusalam," lirih saya di tengah isakan.

Dapat saya rasakan Mama memeluk saya dengan begitu erat. "Nitha jahat, Ma. Nitha sudah melukainya!"

Mama menggeleng tegas. "Ini bukan salah kamu, Tha."

Beliau mengurai pelukan, mengelus puncak kepala saya, lalu beralih untuk menghapus linangan air mata, tangannya yang lembut berada di pipi saya. "Sekarang semuanya sudah jelas. Ini, kan yang selama ini kamu doakan. Kamu ingin ketegasan dari Nak Hamzah agar kamu bisa mengambil sikap."

"Allah sudah mengabulkan doa kamu, Tha."

Mama mengukir senyum. "Fokus kamu sekarang hanya pada Nak Dipta. Jangan pikirkan masa lalu, karena semuanya sudah berlalu."

Saya hanya mampu diam, meresapi apa pun yang beliau ucapkan.

"Saya rasa kamu memerlukan waktu untuk menenangkan diri, dan juga menata hati. Kalau sekiranya kamu berubah pikiran. Jangan sungkan untuk memberi tahu saya."

"Terima kasih atas pengertiannya, Mas," sahut saya sedikit bisa bernapas lega.

Setidaknya Mas Dipta tidak menghakimi saya, tidak menyalahkan saya, ataupun menyudutkan saya karena masalah ini.

"Kalau begitu saya pamit pulang dulu. Jaga diri baik-baik yah, Zani. Kapan pun kamu perlu sesuatu, bisa langsung menghubungi saya."

Saya hanya mengangguk dan sedikit tersenyum.

Setelah berpamitan pada Mama, dia langsung melesat pergi.

Keheningan seketika menyapa. Saya dan Mama hanya diam dengan pandangan kosong. Kami duduk saling bersisian tapi tak ada sedikit pun kata yang terlontar.

Tangan kami memang saling menggenggam, seolah saling menguatkan. Memang benar, hanya seorang ibu yang bisa menenangkan kegelisahan, sekalipun hanya sekadar genggaman.

"Kalau semisal pernikahan Nitha dan Mas Dipta tidak jadi dilangsungkan. Apa akan menjadi aib untuk Mama?"

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 18 Oktober 2023

Apaan lagi, tuh?🤣✌️ ... Mau lanjut atau cukup? 😌🙃

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Epilog Tanpa Prolog Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang