بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Cinta bukan hanya perihal memiliki, tapi juga tentang mengikhlaskan dengan sepenuh hati."
⏭️⏸️⏮️
ASUMSI kerapkali menghadirkan kesalahpahaman, yang pada akhirnya membuat banyak pihak merasa tersakiti keadaan. Seolah, merasa diri paling benar, padahal tidaklah demikian.
Saya kerapkali merasa jadi pihak yang paling tersakiti, paling terluka di muka bumi. Namun, ternyata sayalah yang justru menjadi sumber keperihan bagi orang lain. Saya kurang berkaca diri, dan harus saya akui, diri ini terlalu egois.
"Bukannya tidak ingin mengabari setiap hari, bukan pula tidak ada waktu untuk menghubungi. Saya justru mati-matian menahan diri, karena saya tahu, pasti akan kebablasan jika saya mengikuti hawa nafsu."
"Maaf, saya nggak bisa menempatkan diri berada di posisi A Hamzah. Saya malah sibuk menerka-nerka dan bergelut dengan beragam asumsi. Sikap yang A Hamzah perlihatkan membuat saya bingung."
Dia menggeleng pelan. "Enggak ada yang perlu dimaafkan, kamu nggak salah. Memang takdir saja yang tak mengizinkan kita untuk bersama. Keadaan nggak mendukung kita, Tha."
"Jadi, kapan pernikahannya?" imbuhnya begitu tenang.
Saya terdiam beberapa saat lantas kemudian berucap, "Jangan buat saya semakin merasa bersalah A Hamzah. Saya nggak mau membuat luka kamu semakin parah. Bahas yang lain, bisa?"
"Saat saya tahu Dipta yang kamu pilih, saya semakin membesarkan hati untuk menerima takdir. Dia memang layak untuk kamu, Tha. Nggak ada sedikit pun tanggung jawab, untuk kamu memikirkan ihwal perasaan saya. Biarkan itu jadi urusan saya pribadi."
"Kamu berhak untuk bahagia, sekalipun bukan dengan saya. Tapi, saya percaya Dipta akan memberikan yang terbaik. Dia sudah memperjuangkan kamu dengan doa dan juga ikhtiar. Bukan seperti saya yang sudah merasa puas dengan panjatan doa di sepertiga malam, karena nyatanya itu tidaklah cukup."
"Doa saya dan Dipta berperang, tapi Diptalah yang keluar sebagai pemenang. Sebagai petarung yang memiliki setitik iman, saya berusaha untuk mengikhlaskan," tukasnya diakhiri senyuman tipis.
Saya menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berujar, "Cincin apa yang dulu A Hamzah berikan? Saya khawatir itu berupa lamaran. Karena dalam islam tidaklah dibolehkan melamar perempuan yang sudah dilamar oleh laki-laki lain. Cincin itu baru saya lepas beberapa menit sebelum Mas Dipta meng-khitbah saya."
"Sebagaimana yang saya katakan pada Mama. Cincin itu hanya pengikat, kalau memang takdir meridai, kita akan berakad. Tapi nyatanya tidak, kan?"
"Kenapa harus melalui perantara Mama? Dan kenapa harus mencurangi saya?"
Dia terkekeh kecil. "Saya nggak mau memberi kamu harapan, apalagi meminta kamu untuk menunggu. Kamu akan semakin terluka, dan saya nggak mau melakukan hal tersebut."
"Lantas apa kabar dengan Mama? Bukankah itu juga melukai beliau, kamu memberikan Mama harapan!"
Dia menggeleng pelan. "Enggak, Tha."
Saya berdecak dibuatnya.
"Saya luruskan agar kamu nggak salah paham. Ikrar saya pada Mama bukan bertujuan untuk melamar, sekadar untuk menjaga dan memberi kamu perlindungan."
"Itu artinya A Hamzah mempermainkan saya!"
Dia tersenyum samar. "Saya hanya mencoba untuk melakukan sesuatu yang saya anggap baik, tapi kalau memang di mata kamu itu salah. Ya, saya nggak bisa berbuat apa-apa. Maaf, Tha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...