بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jika menginginkan sosok yang terjaga, maka kitanya pun harus pandai menjaga."
⏮️⏸️⏭️
TUBUH saya menegang sempurna saat melihat dia di layar laptop. Hanya bisa diam dan menunduk, mendengarkan obrolannya dengan sang adik. Kondisi seperti inilah yang tidak saya senangi, saya tidak biasa melakukan sambungan video call.
Meskipun sebenarnya bukan saya yang memulai dan menghubungi, tapi tetap saja tidak nyaman. Terlebih saya pun bingung harus mengatakan apa, ditanya ya jawab, kalau pun tidak ya sudah. Cukup jadi pendengar yang baik saja.
"Diem saja kamu, Tha, kenapa? Sariawan?"
Spontan saya pun mendongak, menatap layar sekilas lantas menggeleng cepat.
Hanin yang berada di sisi saya tertawa dengan begitu puas. "Grogi dia, tangannya sampai keringat dingin."
Saya melirik ke arahnya, cukup terkejut dengan kejujuran anak ini. Malu sekali, harus ditaruh di mana wajah saya?
"Kuliahnya bagaimana? Betah di sana?" tanya saya agar terlihat tidak terlalu gugup. Berusaha untuk tetap stay cool, walau nyatanya tidak bisa.
"Alhamdulillah lancar, betah, Tha. Kamu sendiri gimana? Sudah nulis buku baru, kah?"
"Syukurlah, saya sedang terserang virus WB. Tapi, kabar baiknya buku yang launching beberapa bulan lalu ditawari untuk dijadikan film."
"Masyaallah, alhamdulilah ikut senang saya mendengarnya. Kalau soal WB, nggak usah dibawa pusing, Tha. Nanti juga bisa lancar lagi idenya, asal jangan berhenti nulis saja."
"Kamu nggak ngasih tahu aku, diem-diem bae bukunya mau dijadikan film. Dasar kamu, Tha. Kabar bahagia itu harus diberitahukan, bukan disembunyikan," cetus Hanin heboh.
"Bukan maksud menyembunyikan, tapi saya sedang menunggu waktu yang tepat saja. Lagi pula, baru tanda tangan kontrak, Nin. Prosesnya masih panjang, penggarapan film, kan makan waktu malah bisa sampai tahunan."
"Iya, deh, iya, semoga lancar-lancar prosesnya. Aku mau nonton film karya kamu, Tha," sahut Hanin antusias.
"PH-nya milik Dipta, Tha?" tanyanya.
Saya kembali menatap layar dan mengangguk pelan. "Iya, lebih tepatnya milik ayahnya Mas Dipta. ND Production."
Dia tersenyum tipis menanggapi jawaban saya.
"Ada yang hatinya panas itu, Tha, terbakar api cemburu."
Alis saya terangkat satu. "Siapa maksud kamu?"
"A Hamzah, lha, siapa lagi coba. Iya, kan?" ujar Hanin seolah meminta validasi dari kakaknya.
Hamzah tak menjawab, dia justru seperti mengalihkan pembicaraan.
"Mama apa kabar, Tha? Toko masih ramai?"
"Mama baik, toko juga alhamdulilah."
Saya menoleh saat mendengar suara decakan yang begitu jelas dari arah samping. "Pinter banget ngelesnya. Susah emang kalau terlalu meratukan ego dan gengsi!"
"Sudah dulu yah, Nin, Tha. Aa masih ada tugas kuliah yang harus diselesaikan. Lain waktu disambung lagi."
Hanin terbatuk-batuk, lalu menyenggol lengan saya. "Aa katanya, Tha. Bukan saya lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...