بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Semakin memantaskan diri, semakin saya merasa tidak layak untuk dimiliki."
⏮️⏸️⏭️
MARAKNYA kasus perselingkuhan, tingginya angka perceraian, membuat saya ribuan kali berpikir untuk menuju ke jenjang pernikahan. Karena nyatanya menikah bukanlah sesuatu yang mudah, ujiannya susah dan dari berbagai arah.
Di awal-awal mungkin terasa indah membahagiakan, tapi itu bukanlah suatu jaminan. Bahkan banyak pula pernikahan yang katanya dibangun atas dasar cinta tapi bubar di pengadilan agama.
Pasangan yang terlihat serasi dan selalu menampilkan keromantisan pun kerapkali karam, tak bisa diselamatkan dari badai ujian. Janji suci di hadapan Allah seperti dinodai, seolah tidak ada takut-takutnya sama sekali.
Pernikahan bukanlah tujuan saya, bukan menjadi cita-cita yang harus diwujudkan sesegera mungkin. Sebab, saya tidaklah memiliki bekal yang cukup untuk mengarungi bahtera tersebut.
"Asik banget ngelamunnya," tegur Mama berhasil menarik saya untuk kembali pada dunia nyata.
"Ada apa, Ma?"
"Bantuin Mama check barang-barang yang baru masuk gudang, itu barangnya lagi diturunin dari mobil," titah beliau.
Saya mengangguk dan bergegas untuk mengerjakannya.
"Banyak juga ternyata, Ma."
Beliau melirik sekilas ke arah saya. "Iya, stock di gudang sudah pada habis, Tha."
Saya pun fokus mencatat dan menghitung apa saja barang yang masuk. Karena terkadang, suka ada selisih angka, baik kurang ataupun lebih. Memang sudah sewajarnya melakukan pengecekkan ulang.
Cukup lama saya berkutat dengan kegiatan ini, bahkan kaki saya pegal karena terlalu lama berdiri, tangan saya pun merasakan hal yang serupa karena menulis terlalu banyak.
Saat dirasa semua sudah terdata, saya kembali menghampiri Mama yang ternyata tengah melayani pembeli di meja kasir. Saya pun memilih duduk sejenak dan bersandar di tembok.
"Beres, Tha?" tanya Mama saat pembeli sudah tidak ada.
Saya mengangguk singkat.
"Di meja ada kiriman makanan buat kamu," katanya seraya menunjuk sebuah paper bag yang berada tepat di depan mata saya.
Saya pun mengambilnya. "Dari siapa, Ma?"
"Nak Hamzah, tadi dititipkan ke Hanin saat dia belanja keperluan sehari-hari di sini," jawabnya.
Saya manggut-manggut. Membongkar isinya, dan tersenyum sumringah kala melihat ayam goreng kalasan serta kelapa muda di sana.
"Kurang apa lagi coba Nak Hamzah? Perhatian sudah jelas, tampan juga iya, punya pekerjaan, bagus agamanya, dari keturunan keluarga yang baik pula. Belum layakkah dijadikan seorang imam?" oceh Mama saat saya hendak memakan ayam goreng kalasan dan nasi putih yang sudah menggoda iman.
"Mama apaan sih, masa hanya gara-gara A Hamzah kirim makanan, jadi melebar ke mana-mana," protes saya.
Lagi pula hal yang biasa bagi Hamzah memberi pada sesama, lelaki itu memang senang berbagi. Tidak ada yang spesial.
HTS berujung happy ending itu suatu ketidakmungkinan. Jadi, lebih baik tidak usah banyak berangan.
Mama berdecih pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...