بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Niat hati ingin mengakhiri, tapi jalan takdir seolah tak meridai, dan malah menjerumuskan diri jauh lebih dalam lagi."
⏮️⏸️⏭️
JIKA orang lain memilih untuk mencurahkan isi hati dengan cara bercerita pada seseorang, saya lebih memilih untuk meluapkannya dalam wujud tulisan.
Semua rasa saya tumpahkan di sana, perasaan senang, sedih, marah, kecewa, bahkan putus asa. Menulis seolah menjadi pelampiasan, kepuasan akan datang kala semua itu sudah dituntaskan.
Sebuah terapi yang bisa meminimalisir hadirnya penyakit hati. Bait-bait kata diibaratkan seperti obat yang memabukkan, sekaligus membuat diri ini merasa jauh lebih tenang.
Laptop menjadi sahabat saya kala dirundung kepiluan, ada banyak cerita yang saya sembunyikan, terlebih ihwal kegamangan yang kerapkali menghantui. Termasuk ketidakjelasan yang saat ini tengah dialami.
"Di hadapan Mama saya terlihat balik-balik saja, seolah menikmati kegundahan. Namun, pada nyatanya tidak demikian. Selalu ada satu waktu di mana air mata saya tumpah secara tiba-tiba, tanpa sebab yang jelas sampai akhirnya isakan itu tenggelam dalam lelap."
Menatap langit-langit kamar menjadi pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Meskipun terasa biasa, tapi setidaknya ada objek yang bisa saya ajak berbicara.
Meskipun hanya satu arah.
"Saya merasa tidak berhak untuk meminta kejelasan, karena nyatanya saya bukanlah siapa-siapa. Saya sadar betul bahwa diri ini sudah terlalu jauh melangkah dalam kekeliruan. Ya, saya sudah salah dalam memilih dan memutuskan sampai akhirnya saya harus terjebak seperti sekarang."
Tatapan saya begitu nyalang, menerobos masuk seolah tengah berbicara langsung pada sosok yang selalu membuat saya dirundung kegundahan.
"Bukan pernikahan yang saya inginkan, hanya sebatas ingin diberi kepastian. Menjalani HTS di usia saya sekarang benar-benar membingungkan, tidak ada hal yang mengasikan karena sesungguhnya ketegasan jauh lebih saya butuhkan."
"Saya hanya ingin mendengar satu kata yang terlontar dari bibirnya, cukup katakan iya atau tidak. Dengan begitu saya bisa mengambil sikap dan melanjutkan hidup saya dengan lebih terarah. Tidak lagi terombang-ambing dalam kebimbangan."
Allah seolah belum meridai, jawaban yang selama ini saya cari belum kunjung diberi. Seakan Dia lebih senang melihat saya dirundung kegelisahan. Saya sudah berpasrah, saya pun sudah berserah diri pada-Nya.
Namun apa yang saya lakukan belum kunjung membuahkan hasil. Ibadah yang saya jadikan sebagai perantara untuk lebih mendekat pada-Nya seolah sia-sia dan percuma. Entah harus berapa banyak lagi air mata dan panjatan doa agar Dia mendengar segala rintihan saya.
Perasaan menjadi ujian paling nyata seorang wanita, jika bukan agama yang menjadi pedoman, dia akan gila karenanya. Saya yang masih berusaha untuk tetap waras dan selalu melibatkan Allah dalam segala urusan saja, masih dibuat gila setengah mati dengan perasaan yang membingungkan ini.
Pantas banyak orang yang lebih memilih untuk mengakhiri hidup, karena ujian perasaan jauh lebih menyiksa. Bukan hanya otak dan pikiran yang terkuras, melainkan batin pun ikut serta.
"Kadang saya menyesali pertemuan yang terjadi, jika saja saya tidak bertemu dengannya mungkin saya akan baik-baik saja, bukan hanya sebatas 'terlihat' baik-baik saja."
Lelehan air mata tiba-tiba meluncur bebas. Hal biasa kala malam datang dan keheningan menyapa. Ternyata sakitnya masih sama, walaupun sudah cukup terbiasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...