بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"HTS yang saat ini dijalani, entah akan berakhir ghosting atau justru happy ending."
⏭️⏸️⏮️
MENIKMATI sore hari dengan ditemani sepiring batagor serta segelas es kelapa muda. Lalu lalang kendaraan menjadi pemandangan, sebab saat ini saya tengah jajan pada pedagang kaki lima, bersama Hamzah tentu saja.
Saya bergidik ngeri kala melihat dia menambahkan lumayan banyak sambal ke dalam piring, lantas melahapnya dengan tenang. Sangat berbanding terbalik dengan saya, yang hanya memakai bumbu kacang saja sudah kepedasan. Kami memang sangat bertolak belakang terkait selera makan.
"Perasaan batagor saya yang pakai sambal, kenapa malah kamu yang bercucuran keringat," komentarnya begitu santai.
"Enggak usah ngeledek!"
Tanpa dosa dia malah tertawa, lalu melanjutkan sesi makannya.
"Mau susu atau yogurt?" tawar dia seraya meletakkan keduanya di atas meja.
Saya mengambil susu kotak rasa vanila lantas meminumnya. Sedangkan dia meminum yogurt untuk menghilangkan rasa pedas.
Tak usah heran, dia memang selalu siap sedia membawa susu dan yogurt saat bepergian. Dia merupakan penyuka makanan pedas, dan untuk meredakannya dengan dua minuman tersebut.
"Kamu nggak pernah sakit perut apa?" tanya saya seraya menambahkan kembali kecap.
Saya memang lebih menyukai hal-hal yang manis, tapi tidak dengan mulut manis buaya yang penuh akan tipu daya magis.
"Enggaklah, justru rasa pedas itu menambah selera makan, Tha," beritahunya.
Saya hanya mengangguk kecil.
Jawaban itu sudah sangat sering saya dengar, dan pertanyaan yang saya layangkan pun sudah seperti basa-basi wajib, karena bingung mencari topik pembicaraan.
"Mau bungkusin buat, Mama?" tanyanya.
"Boleh, tapi baso tahu saja."
Dia mengangguk. "Jangan pakai bumbu kacang, kan."
"Iya."
Dia sudah hapal betul selera Mama, yang kurang begitu suka dengan bumbu kacang. Kalau jajan batagor atau baso tahu, hanya pakai kecap dan sambal.
Dia pun segera bangkit dan menghampiri penjualnya, sedangkan saya masih menyelesaikan ritual makan yang memang agak lambat, atau mungkin juga dia yang terlalu cepat.
Entahlah!
"Mau beli martabak?" tawarnya saat sudah kembali duduk di depan saya.
"Enggak usah, takut nggak kemakan. Mubazir.
Martabak untuk dibawa pulang rasanya terlalu spesial untuk saya yang hanya sebatas HTS-an. Makanan itu sangat identik dengan sogokan untuk calon mertua, kala malam minggu tiba. Sedangkan saya dan dia, tidak tahu statusnya apa.
Saat saya sudah selesai, kami pun berjalan menuju tempat parkir di mana motor saya dan dia nangkring di depan gerobak penjual batagor dan baso tahu.
"Risoles mau kamu lewat, Tha?"
Saya pun langsung menoleh pada objek yang tengah menjadi pusat perhatiannya.
Dia memang sangat tahu apa saja yang saya suka dan tidak suka. Bisa dibilang tipikal orang dengan daya ingat cukup baik, karena mampu mengingat hal-hal kecil semacam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...