بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Cinta itu sederhana, jika mampu halalkan, jika tidak maka tinggalkan."
⏭️⏸️⏮️
NIAT hati ingin memperpanjang silaturahmi, tapi yang terjadi justru beliau ingin mengakhiri dan menghakimi. Seolah sayalah yang bertindak sebagai penjahat karena telah tega mencampakkan putranya.
Padahal, Hamzah sudah tak mempermasalahkan. Dia justru lebih bisa mengerti dan memahami, bahwa memang inilah takdir yang harus dijalani. Semua sudah diatur oleh Sang Illahi dia tak memiliki hak lebih untuk memprotes.
"Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk suka terhadap apa yang sudah kita putuskan. Pro kontra itu pasti akan ada, dan kita tak memiliki kewajiban untuk memikirkan ihwal tanggapan orang-orang. Satu hal yang harus Zani ingat, bahwasannya kita tidak bisa menyenangkan semua orang."
Saya mengangguk pelan.
"Apa yang membuat tangis Zani tak kunjung reda? Apa tangis penyesalan karena status yang Zani sandang justru akan menjadi menantu Ibu saya, bukan menjadi menantu dari Ibu Anggi."
Refleks saya pun mendongak dan menggeleng. "Kenapa Mas Dipta memiliki pemikiran seperti itu?"
"Saya hanya khawatir menjadi alasan dari rasa sakit yang Zani alami."
"Keputusan yang saya ambil sudah berdasarkan pada petunjuk Allah, tak ada sedikit pun yang saya sesali. Saya hanya tidak menyangka dengan respons yang Mama Anggi berikan, kalau dibilang kecewa, pasti. Tapi, saya pun tak bisa menutup mata kalau beliau pun memiliki kekecewaan terhadap saya."
"Hubungan saya dan Mama Anggi sudah sangat dekat, dan saya sangat menyayangkan dengan apa yang baru saja terjadi. Silaturahmi kami rusak, hanya karena pilihan saya tidak beliau kehendaki."
"Maafkan saya, pernikahan belum terlaksana tapi masalah datang berbondong-bondong menguji kamu. Mau bagaimanapun, saya ikut andil dalam kekacauan ini," ungkapnya.
Saya menggeleng pelan. "Ini bukan salah Mas Dipta, saya yang salah karena sejak dulu tidak bisa bertindak tegas. Seharusnya saya dan A Hamzah tidak terjebak dalam hubungan tanpa status. Itu adalah akar dari permasalahan."
"Lantas sekarang bagaimana? Apa Zani masih berkenan untuk melanjutkan pernikahan?"
Sebuah anggukan kecil saya berikan. "Insyaallah, Mas."
"Terkait permintaan Hamzah, apa masih dipertimbangkan?" selorohnya.
"Saya ikut Mas Dipta. Jika memang Mas rida silakan, kalaupun tidak, ya tak jadi masalah."
"Ada banyak hal yang saya pertimbangkan, jika saya mengizinkan itu sama saja seperti saya tengah melukai dia dengan sangat terang-terangan. Namun, jika saya menolak pintanya, saya khawatir malah akan menimbulkan masalah baru, seolah saya benar-benar ingin menjauhkan Zani darinya. Jujur, saya masih bingung."
Saya mengangguk paham, sebab itu juga yang tengah ada dalam pikiran saya.
"Zani, tolong jangan beritahu Ibu saya terkait masalah ini. Saya khawatir akan berpengaruh pada kesehatannya," pinta Mas Dipta setelah cukup lama kami sama-sama berkawan geming.
"Baik, Mas."
"Apa keberatan jika saya ajak Zani mampir dulu sebentar?"
"Ke mana?"
"Meninjau tanah yang sudah saya persiapkan untuk membangun rumah."
"Boleh, Mas."
Mas Dipta kembali fokus menyetir, sedangkan saya asik berkawan dengan lamunan. Kejadian beberapa waktu lalu benar-benar menyita pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...