بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Sesuatu jika sudah dibiasakan, pasti jadi kebiasaan, dan akan merasa kehilangan kala tidak lagi dilakukan."
⏭️⏸️⏮️
BAGI sebagian orang menulis mungkin hal yang membosankan, tapi tidak berlaku bagi saya yang sudah amat kecanduan. Kosakata saya terkuras habis dalam tulisan, itulah mengapa saya lebih suka mendengar dibanding bercerita panjang lebar.
Tokoh yang saya ciptakan memang tidak nyata, karangan belaka, dan tak jarang dipandang sebelah mata. Walaupun demikian, saya selalu menganggap mereka ada, sebab pada dasarnya mereka itu abadi dalam bait-bait kata.
Semua penduduk bumi akan lenyap dan sirna, tapi tidak dengan sebuah karya. Sekalipun sosok pencetusnya meninggal dunia, tulisan itu akan tetap ada dan dikenang dari masa ke masa.
Saya ingin menjadi manusia yang bisa menebar banyak kebermanfaatan, tidak hanya sekadar menulis tanpa makna dan tujuan. Jika sekiranya ada yang baik, mungkin bisa ditiru, kalaupun ada yang buruk, sekadar cukup tahu.
"Zani pulang sendiri?" tanyanya saat kami baru saja keluar dari studio radio, selepas melakukan siaran.
Saya mengangguk kecil.
"Sebentar lagi magrib, biar saya antar pulang."
"Tidak usah, Mas saya bawa motor. Bisa pulang sendiri."
"Maksud saya bukan diantar pakai mobil, melainkan saya kawal sampai depan rumah. Tidak baik perempuan pulang sendirian, apalagi hari sudah mulai petang," terangnya.
Saya meringis kecil. "Itu justru akan merepotkan Mas Dipta. Tidak usah, serius saya bisa pulang sendiri."
"Saya juga serius ingin mengantar Zani."
Akhirnya saya pun mengangguk kecil.
"Sepuluh menit lagi magrib, kita salat dulu di masjid seberang studio, bagaimana?"
"Boleh, Mas."
Di zaman seperti sekarang, menemukan ikhwan yang mendahulukan salat di atas urusan dunia adalah hal langka. Bahkan, sebelum azan berkumandang dia sudah lebih dulu datang.
"Saya itu suka malu kalau untuk menemui Allah saja harus dipanggil dulu, padahal pertemuan itu singkat dan tidak memakan banyak waktu."
"Mas Dipta terbiasa jamaah di masjid?"
Dia tersenyum tipis. "Sebisa mungkin saya usahakan, kalaupun tidak saya selalu bergegas untuk menunaikan salat di awal waktu. Takut mati dalam keadaan belum menuntaskan kewajiban."
"Masyaallah, semoga Mas Dipta senantiasa istiqamah di jalan Allah."
"Aamiin, tapi ibadah saya belumlah sempurna."
"Maksudnya?"
"Belum ada makmum yang bisa menyempurnakan ibadah saya."
Sontak saya pun terbatuk-batuk.
"Mas Dipta ini kalau berguyon suka berlebihan. Memangnya tidak ada akhwat yang bersedia untuk Mas peristri?" cetus saya setelah mampu menguasai diri.
"Yang ngantri banyak, tapi yang pas di hati belum kunjung terlihat," katanya diakhiri kekehan ringan.
"Untuk memilih pasangan hidup memang harus selektif, Mas. Tidak bisa asal pilih."
Dia mengangguk setuju. "Yap betul sekali. Sebagai editor, untuk memilih naskah saja saya selektif apalagi ini. Urusannya dunia dan akhirat, tidak bisa sembarangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...