بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Sejatinya kita memang hanya manusia yang memiliki banyak keterbatasan, tidak benar-benar tahu tentang perjuangan seseorang."
⏭️⏸️⏮️
TERNYATA benar, pria yang paham agama itu mengerikan. Tidak pernah mengumbar rayuan, tidak juga mengungkapkan perasaan, tapi tiba-tiba datang dan menawarkan sebuah lamaran.
Bukannya senang, saya justru takut. Membingungkan sekali, kerapkali mengeluh perihal jodoh yang hilalnya tak kunjung terlihat, tapi sekalinya nampak malah belingsatan dan langsung ditolak mentah-mentah.
Sebetulnya mau saya itu apa?
"Tha ada Bu Anggi sama Hanin, lagi nunggu kamu di ruang keluarga," ungkap Mama saat membuka pintu kamar.
Saya pun turun dari ranjang, mengambil khimar terusan dan memakainya secepat mungkin. "Perasaan Mama Anggi nggak ngabarin kalau mau ke sini. Ada apa yah?"
Beliau malah mengedikkan pundaknya lalu merangkul bahu saya. Kami pun berjalan beriringan dan duduk nyaman di sofa yang tersedia.
"Maaf kalau nunggu lama, Ma, Nin," tutur saya sejenak berbasa-basi.
"Enggak, Tha, baru datang kok."
Saya pun mengangguk singkat.
"Bu Anggi, Hanin, ditinggal dulu yah. Lagi masak di dapur. Maaf kalau kurang sopan," cetus Mama.
"Silakan, Bu, justru saya yang minta maaf karena datang kemari nggak mengabari terlebih dahulu. Jadi merepotkan."
"Enggak, Bu, malah saya senang." Setelah mengatakan hal tersebut, Mama benar-benar pamit undur diri.
"Saya ada oleh-oleh dari Garut untuk kamu, Nin. Untuk Mama juga ada, sebentar diambil dulu," kata saya hendak berdiri.
Mama menahan tangan saya. "Ada yang ingin Mama sampaikan sama kamu, Tha."
"Ada apa, Ma?"
Mama melirik ke arah Hanin sekilas lantas kembali menatap ke arah saya. Mendadak tidak enak hati mendapati gelagat yang cukup aneh dari beliau.
"Libur semester nanti Hamzah akan pulang."
"Kenapa? Bukannya A Hamzah nggak akan pulang kalau gelar belum dia dapatkan?"
"Mama yang minta dia untuk pulang."
Saya tersenyum tipis. "Mama kangen yah sama A Hamzah."
"Iya, tapi bukan itu tujuan utama Mama minta Hamzah pulang."
"Lantas apa?"
"Dia harus menyelesaikan sesuatu yang seharusnya sudah sejak dulu dilakukan."
"Padahal tanggung, Ma, kalau semester depan pulang. Sekarang, kan A Hamzah sudah memasuki semester tiga, hanya tinggal satu semester lagi untuk lulus."
"Memangnya kamu mau nunggu lebih lama lagi, Tha?" tanya Hanin cukup ambigu.
"Maksud kamu?"
"Sekarang A Hamzah baru memasuki semester tiga, untuk libur semester saja masih cukup lama. Kurang lebih setengah tahun, apalagi kalau pulangnya setelah mendapat gelar, perlu satu tahun lagi. Kamu yakin bisa sesabar itu?"
"Kenapa harus saya yang bersabar?"
"Karena Hamzah pulang untuk kamu, untuk memperjelas hubungan kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...